Oleh: Muhammad Makmun Rasyid
Awal-awal manusia diciptakan—sebelum ruh menyatu dengan jasad—ada pelajaran tentang kepatuhan. Perjanjian ruh dengan Allah bahwa manusia akan setia beribadah kepada-Nya. Asumsi-asumsi malaikat dibantah langsung oleh Allah. Aku (Allah) lebih tahu daripada kamu (malaikat). Perbedaan krusial malaikat dengan manusia terletak di nafsunya. Malaikat tak memiliki nafsu, sedangkan manusia diciptakan dengan tiga jenis nafsu: “al-Nafs al-Muthmainnah” (Qs. Al-Ra’d [13]: 28), “al-Nafs al-Lawwâmah” (Qs. Al-Qiyamah [75]: 2) dan “al-Nafs al-Ammârah bi al-Syu’” (Qs. Yûsuf [12]: 53).
Ketiga nafsu itulah yang menjadi bidikan utama berpuasa. Bertujuan agar manusia yang keluar dari bulan ramadan berhasil mengendalikan nafsunya dan bukan nafsu yang mengendalikannya. Dalam al-Qur’an ketiganya diturunkan dengan penjelasan yang berbeda-beda. Pertama, nafsu yang dipergunakan dan disalurkan di luar ketentuan syariat, seperti penggambaran akan kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha.
Kedua, nafsu yang berada di antara: melakukan ketaatan atau keburukan. Keduanya sama-sama akan berdampak bagi seseorang. Dan ketiga, nafsu yang tertinggi, yang selalu mengajak berbuat baik. Seseorang yang memiliki nafsu untuk selalu berbuat baik dan selalu berserah diri di bawah pengayoman-Nya maka Allah akan memberikan kenikmatan dan pertolongan. Disini hakikat puasa sebagai tangga meraih posisi yang tak tergoyahkan oleh syahwat duniawi. Ia selalu menjadikan segalanya di dunia ini sebagai wasilah dan manifestasi akhirat.
Hakikat puasa berikutnya adalah penyucian jiwa sebagai ruh pendidikan dalam Islam. Sebuah tahapan mencuci kotoran yang menempel pada diri karena telah mengikuti jenis nafsu yang mengajak kepada keburukan dan membenci berbuat baik. Terkadang dunia yang diselimuti keindahan bisa menjadi racun pembunuh dan penghalang menuju bertemu dengan-Nya. Keteguhan dijalur yang benar tidaklah mudah. Sampai-sampai Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar bin Khattab sebelum menghembuskan nafas terakhirnya: “kebenaran itu berat namun berakibat nikmat, sedangkan kebatilan itu mudah namun sesungguhnya wabah (atau virus, pen)”. Sebuah wasiat yang didaraskan para salik dalam mencari kebenaran adalah kebutuhan akan piranti spiritual. Dan salah satu piranti spiritual itu lahirnya sikap baik dan akhlak yang kokoh.
Ibarat baju kotor, dengan mencucinya akan hilang. Begitulah puasa, wadah pencucian diri agar kembali bersih. Kembali menjadi manusia yang bebas dalam berhasut, berujar kebencian, bertindak kasar, berkata-kata tidak benar dan berpikiran buruk jika melihat orang lain. Itulah karakter-karakter penghambat tumbuhnya kebahagian diri dan objektif melihat sesuatu hal. Sekali lagi, puasa menguburkan sifat-sifat buruk itu dan seseorang (seakan) tercipta kembali menjadi pribadi suci.
Di samping bertujuan menjadikan seseorang salih secara spiritual, puasa melatih seseorang salih secara sosial. Dalam konteks sosial ini, di penghujung ramadan, rakyat Indonesia akan memperingati lahirnya Pancasila. Sebuah ideologi yang menjadi titik temu agama-agama, suku-suku, etnis-etnis dan mazhab-mazhab. Ia tidak setara dengan agama tapi seluruh sila-silanya diambil dari ajaran-ajaran agama. Fungsinya sebagai payung dalam bernegara.
Seyogyanya, daras utama kita di bulan suci ramadan ini adalah ayat “Dan janganlah kalian berperilaku seperti seorang yang mengurai benang yang telah dipintalnya sendiri secara kuat menjadi terburai kembali” (Qs. al-Nahl [16]: 92). Menyetir ayat ini dengan keluar dari sosio-historis utamanya, dalam konteks berindonesia, Pancasila itu ibarat anyaman yang terikat kuat dengan pondasi kokoh, maka jangan sampai terburai kembali. Sekalipun ia di-“drive” oleh jenis kepala negara yang berbeda-beda, tapi Pancasila tetap menjadi acuan kongkrit bernegara. Siapa yang kembali kepadanya maka akan sejahtera dan siapa yang menyingkirkannya dia akan kehilangan kompas berlayar. Ibarat dalam berislam, siapa yang menyingkirkan kitab suci-Nya maka akan kehilangan jejak dalam beragama.
Dalam perspektif ini, semula puasa untuk kebaikan dan manifetasi pribadi kelak hari, tapi disebabkan kita orang Indonesia yang beragama Islam, maka spirit berislam kita adalah berislam yang mengayomi. Hasil dari puasa harus teraktualisasikan ke dalam bernegara, salah satunya merawat warisan-warisan baik leluhur. Sebab, ada hal yang tak dipungkiri, seseorang dalam beragama “baik”, tapi dalam bernegara “tidak baik”. Bahkan adapula yang menggunakan agama dan ajarannya untuk “memukul” negara. Memang, ada hal-hal di dalam penjabaran Pancasila yang perlu diperbaiki, tapi tetap dalam kaidah Qur’an: sampaikanlah sesuatu dengan penuh kebijaksanaan dan debatlah hal-hal yang perlu didebatkan dengan tetap mengedepankan sopan santun (Qs. Al-Nahl [16]: 125). Jangan sampai, ketidaksepakatan kita atas sebuah masalah membuat kita kehilangan akhlak dan etika.
Disnilah salik akan tetap membangun pondasi yang kokoh dalam jiwanya akan nilai-nilai-nilai kebaikan. Sehingga ia selalu membayangkan bahwa dirinya diawasi oleh Allah agar selalu menjadi pendamai bagi yang berseteru, pengayom bagi yang bercerai berai, pengajak kebaikan bagi mereka yang enggan berbuat baik, pembantu bagi mereka-mereka yang membutuhkan pertolongan, penegak keadilan bagi mereka yang membutuhkan keadilan, peramah bagi mereka-mereka yang marah-marah, penenang bagi jiwa-jiwa yang pemberontak, penengah bagi mereka-mereka yang bertikai, perajut bagi mereka-mereka yang terlah terburai-burai dan pengantar menuju-Nya bagi mereka-mereka yang tercekik dahaga spiritual.
Dengan demikian, puasa melahirkan orang-orang yang bernegara dalam mencari-Nya lebih mementingkan dan meneguhkan sifat dan sikap yang mulia. Latihan puasa untuk menyibak kekurangan diri sendiri yang tersembunyi lebih utama daripada memperturutkan nafsu untuk sekedar mengejar tahta duniawi yang penuh titik hitam.
Maka harus ada transformasi nilai-nilai puasa ke dalam sosial masyarakat dengan melalui kesadaran kehendak. Wujudnya kesadaran kehendak dalam menjadi pemimpin yang bijaksana dan warga (masyarakat) yang baik akan menepis asumsi kesalahan-kesalahan primer berupa: keadilan sosial sebagai sila Pancasila belum wujud yang disebabkan dustanya kita. Artinya sila luhur itu hanya semata-mata ide (teori) dan belum menuju kenyataan objektif (aksi); dan kesalahan belum mengamalkan ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam Pancasila. Tentunya dalam teologi Islam, kita terkategorikan dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Qs. Al-Shaff [61]: 2-3).
Keduanya masih terus berkutat di wilayah pikiran belum perbuatan atau belum sampai pada tatana tranformasi sosial historis (taghayyur al-Shairûrah al-Ijtimâ’iyah al-Târikhiyyah). Untuk menuju ke ruang nyata dibutuhkan aktivitas sadar manusia yang berangkat dari pemikirannya di hati. Tidak saja harus sadar dalam beragama, namun juga sadar dalam bernegara. Kesadaran itu ditampilkan dengan mewujudkan pengetahun inderawi (al-Idrâk al-Musyakhash bi al-Hawâs).
Kesadaran beragama yang diwujudkan dengan puasa ramadan, seharusnya melahirkan orang-orang yang cinta tanah air pula. Segenap isinya harus dikelola sebaik-baiknya. Masyarakat merasakan hasil bumi walau tidak sama dan tidak boleh isi bumi hanya berputar di satu ruang. Mencintai tanah air—dalam konteks patuh pada nilai-nilai kebaikan tertinggi—dengan merawatnya, bukan membongkarnya. Dan menjaga persatuan dan kesatuan sebagai syarat terbentuknya masyarakat yang damai.
Andaikan Allah menetapkan persatuan maka itu hal mudah (kun fayakûn; jadi maka jadilah). Tapi apakah menciptakan “persatuan Indonesia” adalah tugas Allah?. Integrasi (persatuan) dan disintegrasi (perpecahan) dalam konteks “ilmu dan kuasa Allah” adalah hal yang sama. Tapi bagi manusia—khususnya masyarakat Indonesia—memilih kemungkinan dari dua aspek itu sebuah kepentingan dan keniscayaan, bukan kepentingan Allah. Artinya, mengoyak-ngoyak dan mengadu domba merupakan antitesa dari cinta tanah air. Disini puasa tidak saja diartikan sekedar “menahan lapar dan haus”, tapi sudah terkonstruk menjadi ritual tertinggi yang berujung pada membentuk peradaban masyarakat yang bermoral dan bersatu dalam kebaikan.
Konstruk itu terafirmasi setelah melalui tahapan penghayatan atas teks Qur’an, yakni “qoumiyyah”. Dimana Qur’an tidak saja memaknainya sebagai komunitas laki-laik (Qs. Al-Hujurât [49]: 11) tapi komunitas manusia (yang) berakal—baik laki-laki maupun perempuan (Qs. Nûh [31]: 1-2). Komunitas yang berakal adalah mereka-mereka yang ada “sense of belonging” (rasa memiliki)—tanah air dan negaranya. Maka menempatkan fanatisme—dalam konteks benegara—pada posisi ini boleh sebagai karakteristik subjektif yang terlegitimasi oleh syar’i.
Bacalah (misalnya) ayat, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (Qs. Al-Taubah [9]: 128). Sebuah ayat yang mendedahkan fanatik yang dibolehkan. Dan mencintai tanah air—walau beberapa ustadz meragukan dalil normatifnya—sebuah keniscayaan.
Menyatu dalam keragaman di bawah naungan tanah air telah pula terpelajari dalam ritual berpuasa. Dalam sebuah penyuguhan di masjid-masjid, setiap pemberi takjil tidak lagi melihat objek yang diberinya kecuali kepuasan atas pemberian dan pembagian makanan dan minuman di pinggir-pinggir jalan, diberi dan diterima dengan jenis yang berbeda-beda, warna yang tidak sama bahkan (kemungkinan) agama yang berbeda. Dalam ritualitas puasa orang Indoensia, selalu saja ada fenomena dimana non-Muslim selalu merasa terberkati oleh heroiknya Muslim dalam berpuasa.
Tentunya, “penggabungan” di antara keberbedaan itu telah termaktub dalam Qur’an saat kita mendaras makna “syu’ub”—sebagaimana yang pernah diajukan Muhammad Syahrur. Meranjak ke wilayah komunal, disitu terjadi kolaborasi ragam entitas dan warna yang dihubungkan oleh bentuk kesadaran dan kesanggupan (bernegara), kemudian terjelmalah sebuah sistem legislasi yang diberlakukan untuk penataan kehidupan sosial masyarakat yang beradab.
Akhirnya, puasa menuntut seseorang menciptakan kesadaran kolektif dalam menjalin persatuan dalam keragaman. Kesadaran itu diikat dengan “nasionalisme progresif”—meminjam istilah Yudi Latif—yang bermuara pada kesanggupan memperbaiki keadaan negeri. Warisan sejarah klasik yang melahirkan “nasionalisme defensif” terkadang melahirkan orang-orang yang terfokus pada mindset berpikir tentang “lawan melawan”, yang kadang-kadang pula terjadi sesama anak negeri. Mungkin Itu dulu diperlukan sebagai jembatan emas mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, tapi kini yang dibutuhkan adalah “nasionalisme progresif” yang lebih kompatibel dan maslahat.
Dengan demikian, puasa dan Pancasila sama-sama mengajarkan seseorang untuk mengaplikasikan segenap nilai-nilai yang telah didarasi (dipelajari) untuk ditranformasikan ke wilayah publik. Tanpanya, ia hanya ide yang tak memiliki daya tawar. Sebagaimana Islam, ia tidak cukup diteorisasikan tapi dilakukan dan Pancasila pun demikian, tidak saja dikaji tapi dilakonkan. Dua-duanya “sakti”—dalam kadarnya masing-masing, tapi bukan berarti ketiadaan bukti dari cita-cita dalam sekumpulan teks-teks luhur itu membuat kesaktiannya hilang. Tidak! Ia hanya tidak dilakukan semata. Setinggi apapun nilai-nilai yang kita serap tanpa diikutsertakan perbuatan maka ia kembali ke wujud semula: hanya informasi.
Disini saya mengkahirinya, kita tidak saja patuh pada agama (Qur’an-Hadis) tapi patuh pula pada Pancasila. Tidak saja berpuasa tapi juga (ber-)Pancasila. Nilai-nilai keduanya saliang bertauntan dan jangan saling dipisahkan. Semoga bermanfaat! []