Ramadan untuk Perdamaian

Oleh: Muhammad Makmun Rasyid

Puasa Ramadan, sebenarnya tidak sekedar ibadah formalitas yang siapa saja telah melakukannya, maka kewajibannya gugur. Ramadan sebagai bulan penyadaran atas segala penyakit, maka keberhasilan puasa secara sederhana bisa kita ukur, bertambah baikkah atau kita tergolong manusia yang hanya berpuasa perutnya saja, tetapi unsur-unsur instrumental lainnya berbuat negatif. Buktinya, aksi caci maki, kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme, penindasan, terorisme dan kebrutalan yang tampil di media sosial, kebanyakan dari mereka yang berpuasa. Artinya, tidak ada perubahan signifikan dari tahun ke tahun. Adalah betul sekali apa yang terberitakan dalam hadis Nabi Muhammad SAW, “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali sengatan rasa lapar dan dahaga” (Hadis).

Makna dasar “membakar” dalam pengertian “ramda” (Bahasa Arab) tidak memberi efek. Alih-alih membakar dosa, justru membersamai perbuatan puasa dengan perbuatan keji. Seyogyanya, memulai masuk ke bulan suci Ramadan, maka jiwa dan raga sudah siap total dicuci dan diolah agar menjadi fitri kembali. Dari kefitrian itulah akan tercipta keseimbangan hubungan dengan Allah dan manusia.

Tujuan pensucian dalam bulan Ramadan agar setiap diri kembali ke konstruksi semula dia hidup. Al-Qur’an menyebut manusia memiliki kontruksi terbaik, yang diistilahkan “ahsani taqwîm” (Qs. Al-Tîn [95]: 4). Dalam ayat itu jelas, sejatinya manusia diciptakan dengan struktur psikologis yang paling prima, jenis manusia dengan fitrah keberagamaan yang “hanîf” dan fithrah bertauhid yang inklusif. Kata “hanif” dalam Qur’an memiliki arti “condong” yang dalam Bahasa Arab bersifat positif. Condong berbuat baik, condong berserah diri kepada Yang Maha Kuasa dan sejenisnya.

Kontsruksi psikologis dengan modal keberagamaan yang toleran, inklusif dan welas asih itu dibuktikan para pembawa Islam pada abah pertengahan saat masuk ke Indonesia. Ajaran yang dibawanya tidak saja Islam sebagai agama universal, tapi juga cara memahami dan memberitakan Islam dengan penuh kelemahlembutan. Sebuah potongan teks Qur’an yang berada di tengah-tengah al-Qur’an itu, rasanya terlantarkan dalam tatanan praktiknya bahkan oleh mereka yang kerap menjustifikasi dirinya “dekat dengan al-Qur’an”.

Istilah kelemahlembutan atau “wal-yatalaththaf” (Qs. Al-Kahfi [18]: 19) ini menceritakan kisah para pemuda yang berusaha mempertahankan keimanannya di masa pemerintahan yang zalim dan berlari ke sebuah gua. Di gua itulah, mereka ditidurkan oleh Allah SWT dengan waktu yang cukup lama. Saat mereka terbangun, mereka pun merasakan kelaparan yang tidak bisa ditahan. Sampailah utusan mereka mencari makanan di perkotaan, tetapi sang utusan diberi pesan oleh sahabat-sahabatnya agar tidak memperkenalkan diri dan tetap berlemahlembut agar tidak ada yang curiga.

Pelajaran sederhananya adalah ketidaksepakatanmu atas sebuah persoalaan jangan sampai membuatmu kehilangan moralitas, sampai berucap-ucap seperti “memenggal”, “membunuh” atau sejenisnya. Sebab, sebagaimana kepercayaan penulis, pencaci (terorisme, perusak, pembully atau sejenisnya) tidak mungkin terlahir dari agama. Mereka hanyalah produk dari mesin akal yang tak sehat, manusia yang berhati baja dan jiwa yang penuh kesombongan (merasa benar sendiri). Tidak sedikitpun menaruh kepercayaan atau kebenaran pada diri orang lain. Kaidah yang berlaku pun adalah tidak menerima kesalahan pada diri sendiri dan tidak menerima kebenaran pada diri orang lain. Ini merupakan embrio dari kekerasan yang sewaktu-waktu bisa mencuat ke publik.

Modal cara membawakan Islam yang penuh kedamaian itu sejatinya tersurat dalam sejarah masuknya Islam di Indonesia, yang berbeda seperti di Andalusia. Islam ditranformasikan melalui budaya, kesejahteraan rakyat, ekonomi, pemikiran dan ilmu pengetahuan. Setiap ada gejolak maka eksistensi Islam tidak akan ikut bergejolak atau mati suri. Islam terus awet walau pergantian kepemimpinan terus terjadi setiap lima tahun sekali. Dengan begitu, agar tetap perdamaian ini terus terajut dengan baik, maka marilah kita semua ini, mencantolkan Islam kita sebagaimana prosesi masuknya Islam ke Indonesia, bukan ke Pilkada, Pilpres dan sejenisnya. Meminjam istilah KH. Hasyim Muzadi, yang kalau menang sombongnya “masyaallah” dan kalau kalah, “subhanallah”.

Keretakan-keretakan yang terjadi sebelum Ramadan tiba, bisa kita rajut kembali dengan masing-masing membersihkan hati. Membakar ego pribadi yang penuh nafsu angkara murka. Dan mulai berpindah ke kehidupan penuh damai (al-Salâm). Di bulan Ramadan ini, kita dilatih untuk berhijad, baik secara zahiriyah maupun batiniyah.

Dalam konteks ini, jihad harus kita maknai sebagai perlawanan atas prilaku pribadi yang menafikan nilai-nilai Ketuhanan dan prilaku yang mendustakan nilai-nilai agama. Jika ada orang-orang yang beragama tapi melakukan kekerasan, mencaci maki, memfitnah, menebar hoax, menyulut api permusuhan atau sejenisnya, sejatinya mereka adalah orang-orang yang dialhirkan bukan rahim agama, memahami agama dengan salah dan membawa agama pun dengan cara-cara yang salah. Kesalahan yang terus menerus akan dianggap olehnya sebagai kebenaran baru (yang semu).

Disinilah pentingnya kita kembali ke ajaran penting al-Qur’an dan pendidikan utama bulan Ramadan. Di era modern ini, setiap orang membutuhkan tafsiran kalam Ilahiyah secara holistik. Pendekatan berbasis keyakinan tidak mendominasi yang terkadang mengabaikan pesan-pesan penting kemanusiaan. Moderasi Islam hanya bisa ditemput dengan cara membaca kalam Ilahiyah dengan keragaman perspektif.

Muhammad Husni dalam kitabnya Qîmah al-Ṣirâ’ bayn al-Falsafah al-Islâmyah wa ‘Ilm al-Kalâm menawarkan sistem pembacaan kekinian yang keragaman perspektif, yaitu: “al-Manhaj al-Taammulî” (pendekatan kontemplasi), “al-Manhaj al-Takâmuli” (pendekatan integratif), “al-Manhaj al-Ṭabî’î” (pendekatan psikis), “al-Manhaj al-Rûhî” (pendekatan spiritual), “al-Manhaj al-Nafsi” (pendekatan kejiwaan), “al-Manhaj al-Akhlâqî” (pendekatan akhlak) dan “manhaj baḥth al-Alâiq” (pendekatan mencari yang berhubungan).

Artinya, jika ingin bertindak sesuatu, maka keragaman perspektif itu bisa membuat kita terhindar dari menyakitkan sisi kemanusiaan seseorang. Metode pendekatan dalam keberagamaan di atas agar menghadirkan kembali perhatian kita akan kemanusiaan orang lain yang sudah tertanam tapi tidak dipupuk dan sudah menjadi lumer. Tanpa disadari, setiap manusia memiliki sisi kepekaan sosial dan kepeduliaan sosial. Namun akibat dorongan pemahaman agama dan semangat tauhid yang salah, maka nilai-nilai agama tidak terkompromisasikan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Alih-alih membawa perdamaian, justru adalah menciptakan kerusakan dengan cita rasa benar (dia merasa itu benar padahal salah).

Jadi, Ramadan ini bulan penyadaran agar kita menyakini bahwa Tuhan sebagai inspirasi perdamaian dan kita pun menirukannya. Cara pandang bahwa Allah semata sebagai tujuan (teosentris) namun mengabaikan manusia dan alam semesta sebagai hasil ciptaan-Nya akan berakibat pada kerancuan beragama. Sebab, Allah-manusia-alam adalah energi kebaikan yang saling menyapa dan Allah sebagai puncak tertinggi penebar kebajiakn dan perdamaian itu. Tanpa kehidupan yang damai dan tentram, maka sulit kiranya kita bercita-cita membentuk peradaban profetik di era modern seperti saat ini.

Akhirnya, Ramadan harus menjadi nuansa perdamaian dan persaudaraan lebih dikedepankan. Al-Qur’an jelas memberitakan agar hamba-Nya tidak melakukan kekerasan di muka bumi, “Andaikan Allah tidak menolak (tindak kekerasan) antar suatu kelompok manusia dengan kelompok lain, niscaya gereja-gereja, sinagog (rumah ibadah umat Yahudi), rumah ibadah apa pun (shalawat) dan masjid-masjid yang dalam semua rumah ibadah di atas nama Allah banyak disebut, itu akan dihancurkan” (Qs. al-Hajj [22]: 40).

Bukti bahwa Islam agama damai dan anti segala bentuk kekerasan. Sebab Allah menginginkan manusia agar mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin dan menjadi orang yang beragama, tidak saja lahiriyahnya tapi juga batiniyahnya. Luas dalam berwacana dan luwes dalam bersikap, serta legowo melihat perbedaan di muka bumi ini. Perbedaan yang merupakan keniscayaan sebagai sarana mendewasakan kita dalam beragama. Disitulah kita bisa belajar nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan sebagai bentuk yang tak terpisahkan dari bangunan keimanan.

Dengan demikian, klimak dari puasa Ramadan adalah apabila seseorang telah berhasil melepaskan dan membakar sifar ke-aku-an dan egosentris. Wujud dari perbuatan kita selama Ramadan harus terejawantahkan dalam praktik sosial. Selamat berbuka puasa!

Baca berita kami lainnya di

Exit mobile version