READ.ID– Badan Legislasi DPR RI memanfaatkan Reses Masa Persidangan Empat 2019-2020 untuk ‘Mengebut’ pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Pembahasan layaknya angkot yang ugal-ugalan mengejar setoran.
Pembahasan RUU Cipta Kerja benar-benar dipaksakan, baik dari sisi waktu maupun muatan yang ada dalam draf RUU tersebut. Contohnya adalah penghapusan secara diam-diam otonomi daerah dari UU No: 28/2002 tentang Bangunan Gedung.
“Padahal Otonomi Daerah (Otda) merupakan salah satu hasil perjuangan reformasi yang harus dibayar dengan darah para ‘Pejuang Reformasi,” kata anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama dalam keterangan tertulis melalui WhatsApp (WA) kepada Read.id, Minggu (2/8)
Salah satu bentuk dari Otonomi Daerah ini dijewantahkan dalam bentuk kewenangan penataan wilayah oleh Pemerintah Daerah (Pemda) melalui penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sayangnya, dalam revisi UU No: 28/2002 tentang Bangunan Gedung yang dimasukkan melalui RUU Cipta Kerja, kewenangan ini bakal dihapuskan.
Hal ini tampak dari penghapusan definisi Pemerintah Daerah dari ketentuan umum UU No: 28/2002. Kalaupun masih ada peran Pemda terkait penerbitan IMB yang akan diganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), peran Pemda itu tidak lebih sebagai tukang stempel karena sebagian besar prosesnya sudah diambil alih Pemerintah Pusat.
Selama ini, ungkap wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, penerbitan IMB terbagi dua kategori. Kategori pertama bangunan gedung untuk kepentingan umum atau yang diperkirakan berdampak penting terhadap lingkungan. Kedua bangunan gedung yang diperkirakan tidak berdampak penting bagi lingkungan.
Bagi bangunan gedung untuk kepentingan umum atau yang diperkirakan berdampak penting bagi lingkungan, rencana teknis bangunan gedung harus melalui pemeriksaan/konsultasi tim ahli bangunan gedung yang dibentuk secara ad hoc oleh Pemda setempat.
Sedangkan bangunan gedung yang tidak berdampak penting, rencana teknisnya langsung diperiksa petugas Pemda setempat tanpa melalui pemeriksaan/konsultasi tim ahli bangunan gedung. Seluruh proses ini dilaksanakan setelah pemohon menyerahkan seluruh persyaratan administrasi dan teknis melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG).
Dalam skema yang diajukan Pemerintah melalui RUU Cipta Kerja, proses pemeriksaan/konsultasi ini diubah, rencana teknis dikonsultasikan sebelum masuk dalam SIMBG. Bagi rencana teknis yang telah mendapat pernyataan memenuhi standard teknis dari Pemerintah Pusat, baru masuk ke SIMBG untuk mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Detail penjelasan terkait proses ini, kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, tidak dijelaskan dalam Naskah Akademik, justru dijelaskan melalui presentasi yang dibagikan Pemerintah kepada DPR RI. Tentu melalui penjelasan ini seolah-olah Pemerintah Daerah masih memiliki kewenangan atas penerbitan IMB (yang nanti akan diubah menjadi PBG).
Jika ditelaah lebih dalam jika RUU Cipta Kerja ini disetujui, ungkap Suryadi, Pemda tidak ubahnya bagai tukang stempel yang tak punya peran apa-apa, karena proses konsultasi tidak lagi melalui tim ahli bangunan gedung yang dibentuk Pemda dan pernyataan memenuhi standard teknis Pemerintah Pusat.
Karena itu, Fraksi PKS DPR RI, jelas anggota DPR RI yang dipercaya pada Komisi membidangi infrastruktur dan transportasi tersebut menolak penghapusan peran Pemda dalam proses penerbitan IMB (yang nanti akan diubah menjadi PBG).
Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang diserahkan ke Baleg DPR RI, Fraksi PKS menolak penghapusan definisi Pemerintah Daerah dari ketentuan umum, dan mempertahankan kewenangan Pemda dalam penerbitan IMB. “Fraksi PKS mengajukan beberapa usulan perbaikan sistem terkait keterbukaan status proses dan status antrian dalam proses penerbitan IMB ini,” demikian H Suryadi.