Tak Terima Putusan Hakim, PH Terdakwa Kasus BBM di Pohuwato Ajukan Banding

BBM Pohuwato

READ.ID – Tidak terima dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Marisa, Penasihat Hukum (PH) terdakwa kasus penyalagunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi Jenis Solar di Kabupaten Pohuwato mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Gorontalo.

Diketahui, terdakwa Syamsul Kolonta (23) warga Desa Malango, Kecamatan Taluditi, diamankan pihak Kepolisian Resor (Polres) Pohuwato pada (28/04/2021) saat sedang mengambil BBM di SPBU Randangan dan diputuskan bersalah oleh hakim PN marisa pada (08/09/2022) dengan hukuman 6 Bulan penjara dan denda Rp.15 Juta.

PH terdakwa, Stenly Nipi menyampaikan, ada beberapa hal yang menjadi dasar mereka mengajukan banding diantarnya pertama, tidak terima atas putusan judex factie karena terdakwa masih merupakan pelajar/mahasiswa yang tentunya harus diberi perlindungan,

Dijelaskan Stenly, mengingat putusan judex factie berdasar pada hukuman preventif maka hal itu tidak cukup adil untuk kliennya dimana muatan putusan tidak memuat hukuman yang lebih edukatif, terdakwa harus ditempatkan sebagai korban bukan pelaku utama karena ada pihak lain yang harusnya lebih bertanggung jawab.

“Kami keberatan dengan putusan Hakim yang tidak mempertimbangkan keadaan terdakwa, yang masih dalam proses pengajuan proposal penelitian akhir studi, tidak diberikan keringanan, sebagai informasi klien kami ditangkap dan ditahan pada saat ia pulang dari kuliah kerja lapangan plus, yang merupakan bagian proses pembelajaran dan penilaian mahasiswa akhir studi”ungkapnya kepada tim read.id, Selasa (20/09/2022)

Selanjutnya yang kedua kata stenly, pihaknya tidak terima dengan putusan pengadilan terkait dasar hukum penuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan menggunakan UU Cipta kerja, menurutnya, UU tersebut inkostitusional bersyarat belum tepat diterapkan sebagai dasar penuntutan.

Seharunya tutur Stenly, putusan Hakim selain mencerminkan keadilan harusnya mempertimbangkan pembelaan karena ditingkat elit intelektual para pakar hukum atas putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU cipta kerja masih terjadi silang pendapat, debatable atau belum ada yang pasti, Pemerintah dan DPR diminta untuk memperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun setelah putusan paling lambat kepastian hukum atas kedudukan UU cipta kerja, apakah konstitusional dan inkonstitusional paling tidak akan dilihat nanti pada 26 November 2023.

“Seharusnya terhadap tersebut tidak terjawab oleh JPU, maka seharusnya pembelaan kami dapat dipertimbangkan, tentu alasan kami menolak UU CK tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar tuntutan tidak serta merta dijawab dengan pertimbangan dasar keyakinan hakim melainkan harus ada legal rasioning sebagai bantahan, dan itu tidak terjawab secara substansi pada putusan Hakim tingkat pertama,”terangnya

Dirinya juga menambahkan, dakwaan dan tuntutan JPU tidak sesuai fakta dipersidangan, atas keterangan saksi-saksi yg diajukan oleh JPU terhadap terdakwa, dimana pada faktanya terdakwa hanya orang yang orang merupakan pekerja (kurir) yang diperintahkan oknum anggota polisi dan dibayar dalam bentuk upah harian Rp. 100 Ribu, tntunya pencermatan hakim dalam melihat UU Cipta kerja tidak secara parsial namun harus keseluruhan UU Cipta kerja yang mengomnibuslaw hampir 72 UU, salah satunya undang-undang ketenaga kerjaan sebagai semangat lahirnya UU Cipta kerja yang melindungi para pekerja dari tindakkan pihak pemberi kerja.

Sehingganya, pihaknya mengambil langkah untuk mengajukan banding dimana, sesuai Undang Undang hal itu bisa di tempuh ketika salah satu pihak tidak puas atas putusan pengadilan ditingkat pertama maka dapat mengajukan banding dengan masa waktu 7 hari setelah putusan, upaya itu juga ucap Stenly, bukah saja hanya untuk melindungi kliennya akan tetapi sebagai bentuk tanggung jawab terhadap para pekerja yang belum dilindungi oleh UU cipta kerja yang katanya melindungi masyarakat khususnya para pekerja.

“Tentunya dari fakta persidangan klien kami, sudah bisa sedikit menggambarkan masih banyak para pekerja yang pekerjaannya yang berkonsekuensi dengan hukum tidak bisa dilindungi oleh UU cipta kerja, malah orang orang yang mempunyai BBM subsidi, kendaraan tanpa izin pengangkutan, menyalagunakan rekomendasi dinas pengguna BBM subsidi pemerintah yang dihadirkan JPU, sebagai saksi yang memberatkan klien kami Dipersidangan, malah upah harian Rp. 100 ribu oleh hakim dipertimbangkan sebagai keuntungan dari klien kami, menurut kami ini aneh tapi itulah fakta hukum di negeri ini, keyakinan hakim masih menjadi alasan kuat menyatakan orang bersalah walau fakta berkata beda,”pungkasnya

Baca berita kami lainnya di

Exit mobile version