READ.ID,- Di tengah riuh tawa, peluk hangat, dan saling sapa dalam acara halalbihalal di Grand Sumber Ria, Kota Gorontalo, Sabtu (5/4/2025), satu sosok mencuri perhatian. Rambutnya putih bersih, langkahnya tenang, namun suara dan pesannya menggema hingga ke hati ribuan orang yang hadir: Tursandi Alwi, Penjabat Gubernur pertama Provinsi Gorontalo.
Bukan sekadar nostalgia, kehadiran Tursandi dalam acara yang digagas oleh Gubernur saat ini, Gusnar Ismail, menjadi semacam ziarah batin. Ia kembali ke tanah yang dulu dia bantu bentuk dari nol—dari provinsi yang lahir dengan anggaran terbatas, kini menjadi salah satu kawasan yang tumbuh stabil di wilayah timur Indonesia.
“Saya ingat dulu, awal pembentukan provinsi ini dengan APBD yang sangat terbatas. Tapi kita tetap berjuang. Yang penting waktu itu adalah kebersamaan,” ujar Tursandi, mengenang masa-masa awal yang keras, namun penuh idealisme.
Kini, dua puluh tahun berlalu, ia menyaksikan Gorontalo dalam wajah yang berbeda. Jalan-jalan lebih rapi, gedung-gedung pemerintahan berdiri kokoh, dan yang lebih penting: semangat gotong royong yang masih hidup. Dan itu, menurutnya, terlihat dalam sambutan Gubernur Gusnar Ismail hari itu.
“Saya hadir waktu Pak Gubernur masuk rumah jabatan. Pidato beliau luar biasa. Tadi pun sama. Ia merangkul semua pihak. Kita butuh pemimpin seperti itu, agar Gorontalo bisa melompat lebih cepat,” katanya disambut tepuk tangan.
Di atas panggung, Gubernur Gusnar memang tidak bicara tentang proyek atau angka. Ia bicara tentang luka politik, tentang gesekan dalam kontestasi yang lalu, dan tentang pentingnya memaafkan. Ia ingin menutup lembaran kompetisi dengan peluk kebersamaan.
“Kontestasi sudah selesai. Sekarang waktunya kita bersatu, saling memaafkan, dan memulai kolaborasi. Mari kita tinggalkan bunga-bunga kompetisi,” ujar Gusnar dengan suara yang tenang namun tegas.
Apa yang terjadi hari itu lebih dari sekadar halalbihalal. Ia menjadi ruang penyembuhan, panggung lintas generasi antara Tursandi dan Gusnar, antara sejarah dan masa depan. Seolah ada estafet moral yang sedang diserahkan: bahwa membangun daerah bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga karakter dan kultur.
Dalam usia 74 tahun, Tursandi tak lagi memegang jabatan. Tapi ia tetap menjadi living witness, saksi hidup sekaligus penjaga semangat awal pembentukan provinsi ini. Dan ketika ia berdiri menyampaikan sambutannya, hadirin seakan diingatkan: fondasi Gorontalo dibangun dari keberanian, kesederhanaan, dan semangat kolektif.
“Semoga dengan semangat seperti ini, Gorontalo akan lebih maju,” tutup Tursandi.
Hari itu, di bawah langit biru Gorontalo yang cerah, kita melihat bukan hanya dua tokoh berbeda zaman. Tapi juga dua pemimpin yang saling memahami satu hal: bahwa kekuasaan hanyalah alat, dan kebersamaan adalah tujuan.