Penulis: Makmun Rasyid
READ.ID – Cobaan, penderitaan dan musibah merupakan sesuatu yang harus dijauhi. Ada juga anggapan, lebih baik tidak tercipta daripada harus menanggung beban yang berat. Bahkan dimana letak keadilan-Nya? Demikian seliwiran di beberapa pojok ibu kota. Jawaban normatif yang sederhana, yakni “Allah tidak bisa ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, merekalah yang diminta pertanggung jawaban”. Substansi jawaban ini adalah seseorang bersahabat dengan penderitaan.
Penderitaan tidak lagi dimaknai sebagai sebuah pemberian yang menyebalkan, namun menyenangkan. Pengalaman akan sebuah penderitaan telah tertulis rapi dalam bait Syaikh Ibnu ‘Athaillah. Baginya, “jika Dia ingin membuka diri (melalui penderitaan yang menimpamu) untuk engkau kenal, maka jangan bersedih, hanya sebab amal dan pekerjaanmu yang berkurang (sebab penderitaan itu).” Jawaban ini meningkat lagi. Tidak lagi sekedar bersahabat, tapi bersuka citalah dan bergembiralah.
Syaikh tersebut menuntun para salik, setiap Dia membuka diri di setiap perwujudan, maka tandanya agar mengenal-Nya lebih dekat. Keadaan yang tidak semua manusia bisa jumpai. Dia menjumpai sembari membersihkan kotoran-kotoran yang melekat dalam diri. Amal-amal yang disimpan tidak sebanding dengan anugerah atas kedatangan-Nya. Masihkah Dia disebut tidak adil?.
Setiap yang kita miliki bersumber dari-Nya. Apa saja, tak terkecuali. Sedangkan kita masih malas untuk taat pada-Nya. Kita menjumpai-Nya seminggu sekali bahkan setahun sekali, sedangkan Dia setiap saat. Adilkah? Sungguh tidak. Dia berikan sebuah cobaan berupa penderitaan, agar seseorang segera menemui-Nya. Menemui-Nya tidak selalu diartikan dengan tibanya ajal. Tapi menemui-Nya dengan ragam wujud, praktik dan persembahan.
Pergeseran undangan dari-Nya, dari kemewahan ke penderitaan disebabkan manusia memiliki kebiasaan luput saat kenikmatan menyertainya. Tanpa ada sapaan dan pujian sama sekali untuk-Nya. Allah pun mengubah surat cinta-Nya dengan penderitaan. Fungsinya? Mengangkat martabat kemanusiaan. Inilah yang disebutkan para penapak jalan dengan “balâ’un sayyi’ah” (ujian keburukan) yang menggembirakan. Yang itu dalam benak umumnya manusia, ujian tersebut tidak membuat nyaman. Seperti, penyakit, kemiskinan, dan lainnya. Manusia lebih tertarik hidup lurus-lurus saja. Tidak ada gelombang dan ombak yang menerjang.
Di bulan Ramadan ini kita belajar kembali makna “muttaqîn” yang kedua (pada sebelumnya, makna pertama “memanusiakan manusia” telah dijelaskan). Hidup dalam ombak dan badai yang menerjang, mengharuskan manusia untuk kuat (al-Mu’min al-Qawiy). Ketakwaan hanya bisa didapatkan oleh Mukmin yang kuat. Proses penguatan itu melalui “riyâdah batiniyah” (olah batin) dan “tazkiyatu al-Nafs” (pembersihan jiwa). Bermodal kekuatan itulah, salik akan teguh menghadapi “balâ’un sayyi’ah” maupun “balâ’un hasanah” (ujian berupa kebaikan). Sebuah ujian yang sulit dilulusi hamba-Nya.
Kekuataan itu berfungsi pula untuk melepaskan diri dari genggaman nafsu dan terbebas dari sifat keegoisan (bilâ dzât). Sebuah fase yang tidak terpaku apa pun selain-Nya. Oleh sebagian salik, penderitaan bisa dijadikan sebuah olah diri dari “pengosongan duniawi” dan menebalkan ketakwaan. Maka tahapan ini kerap dianggap paling membahagiakan, sebagai sebuah “isra” seorang penempuh jalan rohani.
Penderitaan itu menghapus jejak diri dari keterjajahan nafsu, hawa, ambisi, ego, predikat, reputasi atau simbol-simbol lainnya. Disinilah kecintaan para sufi akan sebuah derita yang menimpanya. Penderitaan kerap mematangkan jiwa. Laksana perkenalan seseorang yang baru berjumpa, kemudian berdialog dan berhubungan secara intens. Begitulah Tuhan, dia rindu kepada hamba dan ingin hamba itu memanggil-Nya dan bercengkrama. Proses kebersatuan akan menjadi kebutuhan berikutnya.
Begitu mendalamnya kaum sufi atas sebuah keindahan. Sampai-sampai Syaikh ‘Ajibah bertutur, cobaan yang datang pada manusia, kelihatannya menakutkan tapi sebenarnya ia cerminan dari keindahan Tuhan. Sebab ini pula lah, Sebagian sufi menawarkan pertanyaan. Lebih berkualitas mana; apakah Tuhan yang pro-aktif menjumpai Anda? ataukah Anda yang pro-aktif menjumpai-Nya? Dijawab sendiri oleh kaum sufi, “yang pertama”. Sebab disitulah ada keistimewaan diri di antara yang lainnya.
Proses melebur ke dalam segala pemberian-Nya adalah tantangan utama Muslim. Maka perhatikan terlebih dahulu ayat yang berbunyi, “dan bertakwalah kepada-Nya, laksanakanlah salat, dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah” (Qs. Al-Rûm [30]: 31). Mengapa ada larangan menjadi seorang yang musyrik, yang sebelumnya ada perintah salat dan bertakwa? Mengapa bukan “dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, dan bertakwalah kepada-Nya dan laksanakanlah salat”.
Jawaban ini menunjukkan Allah ingin berkata segala sesuatunya dengan ikatan “tanpa menyekutukan-Nya”. Jika engkau bertakwa, maka takwalah tanpa berbuat musyrik di dalam ketakwaanmu; jika engkau salat, maka salatlah tanpa berbuat musyrik di dalam salatmu. Dan seterusnya. Jawaban ini bisa kita lihat dari hadis qudsi, “Aku amat sangat tidak membutuhkan sekutu. Siapa yang beramal, di dalamnya ia menyandingkan Aku dan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkanya dan sekutunya itu” (HR. Muslim).
Segala sesuatu yang diperbuat dan diterima harus menetapkan diri sejak awal: hanya Dia tujuan dan selainnya hanya hiasan. Penempuh jalan kebenaran harus menanamkan di awal perjalannya, “Ilâhî, anta maqshûdî wa ridhâka matlhûbî” (Tuhanku, Engkau-lah tujuanku dan rida-Mu tuntutanku). Penetapan ini agar tidak berhenti di tengah jalan dan tetap teguh.
Dengan begitu, kala “balâ’un sayyi’ah” tiba, sambutlah penderitaan itu dengan kegembiraan. Dia sedang mendekatimu penuh kemesraan. Disinilah tafsiran optimis yang dilakukan para pentafsir dari kalangan sufi. Tak ada alasan untuk mengutuk penderitaan dan menyesalinya. Justru lebih baik, menghayatinya.
Dalam menghayati sebuah fakta hidup yang tak terhindarkan ini, seorang Muslim dituntut untuk bijak dan benar dalam memandang-Nya. Lengkaplah kiranya dalam bulan Ramadan ini. Penderitaan kita atas wabah sebagai sarana perjumpaan kita dengan-Nya, menuju pendewasaan mental dan spiritual. Perasaan gembira dan sikap optimis melaluinya adalah keniscayaan setiap manusia.
Sahabatku! Mari kita berdoa agar semua yang sedang dan menderita di bulan Ramadan ini diringankan bebannya, dilekaskan kesembuhannya dan dimudahkan jalan ikhtiarnya untuk keluar dari ragam kesusahan duniawi. Terkhusus, semoga diberikan maunah dan pertolongan untuk tabah dalam ketaatan pada-Nya. ***