READ.ID – Perubahan iklim dewasa ini sangat berdampak pada berbagai sektor termasuk pertanian di Indonesia. Perlu kiranya para periset dan akademisi berperan mencari solusinya. Dimana dampak dari perubahan iklim (DPI) global tersebut berpotensi memicu penurunan produktivitas, produksi, mutu hasil pertanian, serta penurunan efisiensi dan efektivitas distribusi hasil pertanian.
“Pada akhirnya hal ini dapat menyebabkan rentannya ketahanan pangan di suatu wilayah dan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Strategi, mitigasi dan antisipasi harus kita rancang secara holistik dan integratif yang menjadi tugas bagi kita semua,” ujar Puji Lestari, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN dalam sambutannya pada acara HortiEs Talk Seri ke-12, dengan topik “Penerapan Smart Farming (SF) dan Teknologi Pengendalian Residu Pestisida,” pada Rabu (6/9).
Smart farming menjadi pendukung teknologi yang penting dalam meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, seperti air dan pupuk Dengan memanfaatkan teknologi sensor dan pemantauan secara real-time sehingga dapat meminimalisir limbah, menghemat biaya produksi, dan berkontribusi nyata pada pertanian berkelanjutan.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Dwinita Wikan Utami mengatakan, salah satu potensi terbesar dalam aplikasi SF adalah efisiensi dalam penggunaan sumber daya melalui pemanfaatan teknologi smart salah satunya sensor dalam pemantauan secara real time.
“Semoga HortiEs Talk kali ini membawa manfaat, kesuksesan dan kemajuan khususnya di bidang hortikultura,” ujarnya.
Joko Pitono, Peneliti Ahli Madya PRHP BRIN, menjelaskan dalam paparannya berjudul SF: Rasionalisasi Aplikasi dan Tantangannya, tentang arti dari SF yaitu suatu konsep pertanian yang menggunakan teknologi digital dan informasi untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan keberlanjutan dalam produksi tanaman dan peternakan.
“Kita membutuhkan aplikasi SF karena adanya trend semakin menyusutnya SDM pertanian di pedesaan yang bermigrasi ke perkotaan. Yang kedua adalah untuk mengatasi isu ketahanan pangan, dimana indeks ketahanan pangan Indonesia sekitar 59,5 sehingga membutuhkan peningkatan produktivitas pertanian yang signifikan. Yang ketiga adanya isu DPI yang menstimulir peningkatan intensitas cekaman biotik/abiotik. Yang keempat adalah adanya isu pengurangan lahan pertanian akibat konversi ke fungsi di luar pertanian yang mencapai kisaran 132 ribu ha/tahun,” jelasnya.
Desain aplikasi SF adalah kompleks sehingga memerlukan keterlibatan dan sinergi dari berbagai bidang kepakaran seperti elektro, fotonik, agronomi fisiologi, hama penyakit, agroklimat, tanah, dan mekatronika.
“Smart farming yang berbasis Internet of Thing (IoT) memerlukan dukungan cloud server yang ditunjang oleh beberapa unit untuk proses monitoring parameter penting, big data & analitik, kontrol manajemen dan aktivasi aktuator. Aplikasi SF untuk pengaturan input produksi tanaman contohnya untuk irigasi, aplikasi hara, penyiapan lahan, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), pencahayaan, iklim mikro, panen, dan evakuasi hasil,” ungkapnya.
Joko juga menjelaskan riset aplikasi SF yang sedang dilakukan kelompok risetnya yaitu, pengembangan smart hydroponic & smart fertigation system, flexible sunlight transmitter, controlled microclimate chamber untuk produksi true shallot seed.
Banyak tantangan pengembangan SF untuk menjawab permasalahan riil pertanian ke depan seperti smart air water generator (aplikasi di lahan kering), smart crop pollinator, smart crop lighting, dan virtual screen protector.
Sementara itu, Agung Budi Santoso, Peneliti Ahli Pertama PREMK BRIN dalam paparannya berjudul “Kajian Sosial dan Teknoekonomi Penerapan SF di Indonesia” menjelaskan tentang tantangan pangan di masa depan, outlook makro, SF dan penerapannya, industri digitalisasi, pengelompokkan SF dalam agribisnis dan input kebijakan pengembangan SF.
“Karena tingkat adopsi yang rendah, kita sudah memiliki varietas-varietas unggul tetapi produktivitas masih rendah. Secara ekonomi, pelaku ekonomi melakukan proses produksi berdasarkan optimal quantity yang bisa memaksimalkan keuntungan. Penggunaan SF dari sisi marketing yaitu petani bisa memangkas distribusi langsung ke konsumen tetapi konsekuensinya aktivitas ekonomi pedagang pengepul dan pedagang eceran akan berkurang,” jelasnya.
Input kebijakan penerapan Smart Farming perlu ada regulasi penerapan SF dalam transformasi tenaga kerja, kompensasi perubahan MPP pada sektor pemasaran, pengembangan SF dalam bentuk komunitas, bukan individual. Komponen penerapan SF yang perlu diperhatikan adalah penyedia teknologi, teknologi dan kesiapan petani.
Asep Nugraha, peneliti ahli madya PRHP BRIN memaparkan tentang “Teknologi Pengendalian Residu Pestisida” menjelaskan, residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung di dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan baik sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari penggunaan pestisida.
“Masalah pestisida adalah penggunaan di masa lalu atau warisan yang memiliki persistensi dan toksisitas yang tinggi, sedangkan di masa sekarang pada umumnya penggunaan pestisida masih berlebihan atau tidak sesuai aturan. Pestisida harus mendapat perhatian karena residunya sudah kemana-mana, dan berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan yang sifatnya persisten atau tahan lama,” ujar Asep.
Faktor penyebab residu pestisida adalah penggunaan pestisida yang tidak tepat guna seperti tidak tepat jenis, tidak tepat dosis, tidak tepat cara, tidak tepat sasaran, tidak tepat waktu dan tidak tepat tempat. Penggunaan pestisida yang tidak tepat cara telah berakibat tertinggalnya residu pestisida di berbagai komoditas pertanian dan matrik lingkungan serta di darah manusia.
“Nasib residu pestisida yang jatuh ke tanah selanjutnya akan terbawa aliran air dan masuk ke saluran air atau sungai. Untuk itu diperlukan penanganan residu pestisida dengan tiga fase, yaitu pencegahan di inlet dengan Filter Inlet Outlet (FIO), pengendalian di lahan dengan urea biochar atau urea arang aktif dan pencegahan di outlet dengan FIO. Bahan FIO, biochar dan arang aktif berbasiskan pemanfaatan limbah pertanian sehingga teknologi tersebut ramah lingkungan,” pungkasnya.
HortiEs Talk yang dimoderatori oleh Lukita Devy, Perekayasa Ahli Madya PRHP BRIN, juga mengundang narasumber Prof. Anas D. Susila, Kepala Divisi Produksi Tanaman dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB University dengan topik pemaparan yang berjudul “Entry Point: Toward Precision and Smart Vegetable Production for Small Scale Farmer”. Menurut narasumber, sebagian besar petani Indonesia masih berada pada fase Revolusi Pertanian 2.0 dan mulai menginjak di fase Revolusi Pertanian 3.0 namun belum ada pedoman bagaimana implementasi Pertanian Presisi yang tepat di level petani. Teknologi Pertanian presisi yang didukung teknologi SF perlu segera diimplementasikan pada petani skala kecil agar manfaatnya dapat langsung dirasakan untuk peningkatan produksi dan menekan biaya produksi, serta peduli terhadap lingkungan pertanian khususnya sektor hortikultura, di mana area pengembangannya dapat dilakukan dengan aplikasi teknologi Fertigasi (pemupukan bersamaan dengan irigasi) di lahan-lahan kering sehingga dapat meningkatkan efisiensi irigasi dan pemupukan. Teknologi SF dalam implementasi Pertanian Presisi dapat mengurangi biaya produksi karena dapat memperbaiki efisiensi crop management sehingga hasil panen mampu mendekati potensi hasil dari suatu komoditas pertanian