Duka dan Darah Jurnalis: Ketika Kebenaran Menjadi Komoditas Berbahaya

READ.ID,- Dunia jurnalistik kembali berduka, dan entah untuk yang keberapa kalinya, kita semua pura-pura terkejut. Situr Wijaya, jurnalis sekaligus pemimpin redaksi Insulteng.id asal Palu, ditemukan tak bernyawa di sebuah kamar hotel Jakarta, Jumat (4/4). Tubuhnya bersimbah luka—hidung dan mulut mengeluarkan darah, wajah lebam, dan terdapat sayatan di leher. Tapi siapa tahu? Mungkin ia sedang belajar jadi ilusionis dan gagal melakukan trik “menghilang secara damai”.

Kuasa hukum keluarga, Rogate Oktoberius Halawa, menyebut pihaknya sudah melapor ke Polda Metro Jaya atas dugaan pembunuhan, mengacu pada Pasal 338 KUHP. Dan benar saja, seperti sinetron yang kehabisan ide, motif dan misteri kematian jurnalis kembali ditulis dengan tinta merah, bukan tinta pena.

banner 468x60

“Kami menduga ini bukan kematian biasa,” kata Rogate, yang sepertinya sudah terlalu sering mendengar kalimat “kami akan selidiki” tanpa tanda-tanda titik dua berikutnya.

Autopsi telah dilakukan, dan seperti biasa, publik diminta menunggu hasil yang “menjadi atensi”. Atensi siapa? Entahlah, semoga bukan hanya atensi media sosial.

Situr diberangkatkan ke kampung halamannya di Palu, menuju rumah duka di Kabupaten Sigi. Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid—yang mendadak muncul seperti cameo di film superhero—memberikan bantuan sebesar Rp25 juta. Sebuah angka yang, di tengah kompleksitas kasus pembunuhan jurnalis, terdengar seperti amplop tak bertuliskan “Selamat Jalan, Penjaga Kebenaran”.

Dan, seperti tak cukup satu tragedi, publik masih belum pulih dari kabar kematian Juwita, jurnalis 22 tahun dari Kalimantan Selatan yang ditemukan tewas pada 22 Maret lalu. Tersangkanya? Pacar sendiri, anggota TNI AL bernama Jumran. Oh, cinta, betapa tajamnya belati yang kau simpan di balik pelukan.

Dalam olah TKP, Jumran memeragakan 33 adegan pembunuhan, lengkap dengan gaya telenovela: dorongan motor, pembunuhan di mobil sewaan, hingga pembuangan mayat di pinggir jalan. Totalitas yang patut mendapat nominasi FTV kriminal terbaik.

Dua jurnalis, dua kematian, satu kesamaan: suara-suara yang dibungkam dalam diam. Dan seperti biasa, kita semua akan kembali ke rutinitas—menggulir linimasa, memberikan emoji sedih, lalu berpindah ke video lucu kucing.

Di negeri ini, menjadi jurnalis bukan hanya soal mencari kebenaran, tapi juga mempertaruhkan nyawa. Karena di antara layar-layar pemutar berita, nyawa wartawan ternyata jauh lebih murah daripada kontrak buzzer.******

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60