Penulis: Makmun Rasyid
READ.ID – Hari ini, ramai diselenggarakan Nuzûl al-Qur’ansebuah peristiwa turunnya Al-Qur’an. Ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah kepada seorang manusia biasa (Qs. al-Kahfî [18]: 110) yang diumpamakan laksana batu permata di antara berbagai jenis bebatuan (bal huwa kalyaquti baina al-Hajari). Sebagai sebuah sosok yang membedakannya dengan manusia lainnya adalah terpeliharanya Nabi dari kekurangan fisik dan non-fisik. Nabi terpelihara secara nasab dan keturunan. Mengalir darah-darah orang baik pada diri Nabi. Dalam sebuah bait yang populer, “aku dipindahkan oleh Allah dari tulang punggungnya orang-orang yang suci ke rahim-rahim perempuan yang suci”.
Sebagai manusia seperti kita, Nabi pun berpuasa, bekerja, beristri dan memiliki anak—melalui Sayyidah Khadijah (enam anak; Qashim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum dan Fatimah) dan Mariyah Al-Qibtiyah (satu anak; Ibrahim), juga berpetualangan (hijrah) untuk menyebarkan ajaran agama dan memikirkan hajat hidup orang banyak. KH. Hasyim Muzadi bertutur, kewajiban untuk bekerja (semampunya) untuk kemaslahatan orang banyak yang diteladani Nabi agar keluar dari lilitan permasalahan yang menerpa diri.
Namun yang perlu diingat, pangkat Nabi bukanlah pangkat yang perlu dicita-citakan oleh manusia. Sebab penunjukan itu langsung dari Allah sendiri, tanpa pemilu dan musyawarah.
Namun kerja kenabian bisa diteruskan oleh siapa saja, wa-bil-khusûs ulama sebagai ahli waris para nabi (al-Ulamâ’ waratsatu al-Anbiyâ’). Salah satu kerja kenabian adalah memanusiakan manusia, yang oleh George Bernard disebut dengan “the savior of humanity” (penyelamat kemanusiaan). Nabi memerankan dirinya di wilayah agama (pemimpin agama) dan dunia (kepala negara). Keseimbangan kerja dan keberhasilan keduanya, membuat Michael Hart mengatakan, “the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular level” (satu-satunya tokoh sejarah yang mampu meraih keberhasilan puncak dalam bidang agama dan dunia).
Kerja kenabian yang tercatat rapi dalam lembaran-lembaran yang diwariskan secara turun temurun dalam Islam, belakangan terkikis oleh prilaku umat Nabi sendiri. Untaian yang jelas berupa kehadiran Nabi sebagai pembawa risalah keselamatan, kebahagiaan, perdamaian, dan terkhusus mengangkat derajat kaum perempuan dari lembah kenistaan menjadi terhormat, dirusak oleh segelintir lelaki yang dia mengerti agama tapi kehilangan tanggung jawab.
Upaya mengembalikan kerja kenabian yang dulu terjalin utuh itu, memerlukan perenungan mendalam terhadap peristiwa baginda Muhammad SAW diangkat menjadi nabi, Nuzûl al-Qur’an dan manusia sebagai ahli warisnya. Ketiganya bisa diringkas melalui pembacaan terhadap surah Âli Imrân [3]: 110. Menariknya, ayat ini mendahulukan paradigma humanisasi (ta’murûna bi al-Ma’rûf), diikuti oleh paradigma liberasi (tanhauna ‘ani al-Munkari) dan diakhiri paradigma transendensi (tu’minûna billâh).
Ketiganya menjadi pelajaran utama dalam madrasah Ramadan. Lebih-lebih Tuhan mengiringi Ramadan ini dengan sebelum dan sesudahnya dengan musibah. Paradigma humanisasi itulah satu dari sekian makna takwa yang terkandung dalam ayat yang mewajibkan puasa sebagaimana tulisan saya sebelumnya.
Manusia untuk terlebih dahulu melepaskan ego pribadi dan kelompok menuju kemaslahatan bersama. Memanusiakan manusia menjadi penting dalam upaya menghilangkan diskriminasi atas nama dan sebab apapun. Selama dia ciptaan-Nya, maka dia layak mendapat penghormatan. Pelepasan dari kepentingan pribadi itu menghantarkan seseorang menjiwai secara utuh hakikat pembebasan. Bebas dari segala macam penindasan dan problematika sosial, lebih-lebih dalam soal bias gender. Setelah berusaha dalam mengaplikasikan warisan Nabi, serahkan segalanya pada Allah, tempat terbaik dalam bergantung dan berserah diri.
Pelajaran itu memiliki hikmah bahwa manusia yang hanya selalu bertawakkal tanpa ikhtiar maka sebenarnya dia tidak melakukan kerja kenabian yang komplit. Dimana kerja kenabian tidak selalu dalam urusan keagamaan dan ibadah di masjid, namun seluruh hal yang berkaitan dengan hajat hidup manusia dan kemaslahatan publik. Disinilah letak universal dan luasnya ruang lingkup kerja kenabian. Tapi ini bukan berarti mewajibkan adanya upaya seseorang menjadi ulama-umara’ tanpa status yang jelas dan kerja yang jelas.
Sebagai ahli waris para Nabi, seorang ulama berfungsi memberikan pencerahan dan teladan yang terbaik. KH. Hasyim Muzadi berkata, teladan inilah belakangan yang hilang dari para penceramah dan pembawa berita agama. Mereka sibuk berdalil namun lupa memberikan keteladanan, baik di ruang privat maupun publik. Sindiran keras almarhum ini disebabkan banyaknya negarawan dan pihak-pihak yang bertugas di negara sibuk berdalil dan memberi ceramah, yang itu bukan tugas utamanya. Adapun tugas utamanya memfaktakan keimanan itu dalam kebijakan publik yang menganut paradigma humanisasi.
Pengaburan makna kerja kenabian itu tampak dalam potret perpindahan identitas yang semu; negarawan menjadi tokoh agama dan tokoh agama menjadi negarawan. Sekali lagi, kita bukan saja tidak memerlukan cita-cita menjadi nabi, juga tidak bisa menjadi ulama juga umara’ yang sukses seperti sosok Nabi, kecuali mereka pilihan-Nya. Tentunya ini pengecualian, dan setiap pengecualian pastinya berjumlah sedikit.
Kekacauan disumbangkan salah satunya oleh tokoh agama yang kehilangan suri teladan dalam dirinya dan negarawan yang sibuk berceramah tanpa memfaktakannya ke dalam kebijakan yang menjadi otoritasnya. Lebih dari itu, adanya pertarungan-pertarungan antar umat Islam dan Islam dengan non-Muslim karena iman dan tuahid kita tidak tembus pada muamalah; paradigma humanisasi dan liberasi. Dan ini merupakan kelemahan umat Islam di Indonesia, mungkin juga di seluruh dunia.
Namun apapun profesinya, semuanya harus menuju pada “tu’minûna billâh” (paradigma transenden); ketaatan yang meniadakan pamrih pada-Nya. Manusia yang benar-benar siap mewakafkan dirinya untuk kepentingan umat dan mengeluarkan dirinya dari lilitan permasalahan. Sebab mereka yang terus bekerja untuk memanusiakan manusia dan membebaskan orang lain dari keterpurukan dan penindasan akan diberesi urusannya oleh Allah langsung. Keduanya merupakan praktik tertinggi dari “tu’minûna billâh”.
Mendaras Qs. Âli Imrân [3]: 110 ini dalam puasa Ramadan membuat kita teringat akan tugas utama sebagai khalîfah di muka bumi. Kerja kenabian yang bersifat universal itu menjadi kewajiban kita untuk mengaplikasikannya secara gradual laksana turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, demi memastikan praktik berkelanjutan dari ajaran-Nya yang universal, damai dan sejahtera.
Dengan begitu, kita bisa optimis mewujudkan al-Madînah al-Fadhîlah (masyarakat utama) atau ethical societydalam konsepsi Serambi Madinahyang terbentuk ke dalam beberapa aspek, yaitu: khayr umah atau masyarakat terbaik (Qs. Ali Imrân [3]: 110); umah wasath atau masyarakat pertengahan dan seimbang (Qs. Al-Baqarah [2]: 142); dan umah muqtashidah atau masyarakat moderat (Qs. Al-Mâidah [5]: 66). Kemudian tokoh-tokohnya tampil sebagai sentrum (perekat) dan integrator (pemersatu).
Jika penduduknya menerapkan dan mengamalkan tiga paradigma dari Qs. Âli Imrân [3]: 110 ini maka perabadan yang Islami akan tercipta. Tentunya pengamalan ketiganya tidak membutuhkan wadah yang berstempel Islam, semisal Negara Islam atau sejenisnya. Sebab firman-Nya mengajak untuk memperbaiki “ahlu al-Qurâ” (penduduk negeri)-nya bukan mengubah status negaranya.