READ.ID,- Polemik mengenai revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bergulir. Setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan beleid yang dipandang melemahkan lembaga antirasuah tersebut, bola panas berpindah ke tangan Presiden Joko Widodo.
Dalam jumpa di kantornya di Jakarta, Kamis (19/9), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mempersoalkan status Dewan Pengawas yang akan dibentuk oleh Presiden Joko Widodo berdasarkan Undang-undang KPK hasil revisi. Dia menegaskan KPK sejatinya tidak menolak untuk diawasi.
Tapi setelah revisi tersebut disahkan DPR pada Selasa (17/19) lalu, menurutnya, apa yang dikhawatirkan pimpinan KPK menjadi kenyataan. Sebab, beleid baru itu tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers sebelumnya, yang menegaskan revisi itu akan memperkuat peran KPK dalam memerangi korupsi di Indonesia.
Mengenai Dewan Pengawas, kata Laode Syarif, pimpinan KPK membayangkan Dewan Pengawas tidak terlibat dalam teknis penegakan hukum tapi mengawasi pekerjaan yang dilakukan KPK. Dia mencontohkan Dewan Pengawas dapat mengaudit surat perintah penyadapan atau surat penyitaan yang dikeluarkan oleh pimpinan KPK tiap bulan atau bahkan setiap pekan.
“Sudah jelas dikatakan Dewan pengawas itu bukan penegak hukum. Jadi siapa yang akan mengatur kendali penegakan hukum dalam KPK?,” tanya Laode Syarif.
“Berarti mungkin ia akan berhenti di deputi penindakan karena baik komisioner maupun Dewan Pengawas itu bukan dianggap sebagai penegak hukum. Ini berbahaya. Jadi, katanya supaya ingin dikontrol. Sekarang nggak ada yang bisa mengontrol (KPK),” kata Laode Syarif.
Laode Syarif menjelaskan sejak awal pembahasan soal perubahan Undang-undang KPK antara DPR dan pemerintah tidak melibatkan KPK. Lima pimpinan KPK, tambahnya, saat ini masih menjabat memang menolak usulan perubahan beleid tersebut karena dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah itu.
Dia masih ingat ketika diundang untuk menghadiri rapat dengan Badan Legislasi DPR tiga tahun lalu, pimpinan KPK mengatakan Undang-undang KPK belum perlu direvisi. Pimpinan KPK menyatakan yang perlu diubah adalah Undang-undang Tindak Pidana Korupsi karena masih ada ketimpangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi.
Menurut Laode Syarif, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi saat ini belum menyentuh beberapa hal, termasuk trading influence, korupsi di sektor swasta, dan belum ada pasal khusus mengenai pengembalian aset negara.
Pimpinan KPK, tambah Laode, telah berusaha untuk mencegah revisi Undang-undang KPK. Terakhir kali, lanjutnya, pimpinan KPK pada Kamis (12/9) pekan lalu menemui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk menanyakan daftar isian masalah (DIM) dari pemerintah mengenai usulan revisi undang-undang tersebut.
Yasonna menjawab DIM yang dikirimkan ke DPR dan tidak memerlukan lagi masukan publik. Dia beralasan masukan-masukan dari publik sudah ditampung sejak beberapa tahun lalu. Yasonna juga berjanji akan mengundang perwakilan dari KPK saat rapat pembahasan revisi Undang-undang KPK, namun janji itu tidak pernah dilaksanakan.
Laode Syarif mengakui proses pembahasan revisi Undang-undang KPK memang janggal karena berlangsung diam-diam tanpa meminta masukan publik. Termasuk tidak berkonsultasi dengan pimpinan KPK, serta berjalan cepat, hanya dalam dua pekan sudah bisa disahkan.
Ketika ditanya apakah KPK akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, Laode Syarif mengatakan pimpinan KPK masih ingin memastikan apakah Presiden Joko Widodo akan menyetujui pengesahan revisi Undang-undang KPK tersebut atau tidak.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menegaskan hingga sekarang dia belum menemukan satu hasil kajian yang mendalam yang menjadi dasar kenapa Undang-undang KPK direvisi. Dia menilai naskah akademik yang dipakai sangat dangkal isinya.
Karena itulah ia mencurigai proses pembahasan revisi Undang-undang KPK yang berlangsung diam-diam, tidak mau berdebat, anti partisipasi, dan dibikin cepat karena menghindari polemik di masyarakat.
Dadang mengungkapkan korupsi politik yang mengakar dan korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum yang mengakar merupakan ancaman bagi independensi KPK selama ini.
“Seiring perjalanan waktu, kekuatan-kekuatan korup ini sepertinya mulai terkonsolidasi. Saya menduga kekuatan ini juga punya pengaruh untuk mendorong dan secara berlanjut melemahkan KPK,” ujar Dadang.
Dadang membayangkan dengan berlakunya Undang-undang KPK yang baru, lembaga antirasuah akan menjadi kerdil karena kewenangan-kewenangannya dipangkas. Dia menegaskan keberadaan Dewan Pengawas KPK merupakan politisasi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arteria Dahlan, membantah pemerintah bersama DPR ingin membuat KPK semakin lemah. Dia menegaskan pemerintah dan DPR menginginkan KPK kian kuat, penegakan hukumnya transparan, bertanggung jawab, dan terukur.
Arteria membantah proses pembahasan revisi Undang-undang KPK seperti dikebut dan prosesnya berlangsung tertutup. Dia bahkan berani bertaruh semua pihak dilibatkan, termasuk KPK juga terlibat dalam proses pembahasan.
Sejumlah pasal dalam revisi UU KPK yang ditolak sejumlah pihak di antaranya soal perubahan status KPK menjadi lembaga eksekutif, pegawai KPK berstatus pegawai negeri, serta penyadapan harus seizin dewan pengawas. (VOA Indonesia)