Puasa dan Kegorontaloan Kita

Oleh: Muhammad Makmun Rasyid

 

Islam disebut pula agama kemanusiaan. Sebutan itu berdasarkan konsep _ukhuwah basyariyah_ yang menetapkan bahwa manusia berasal dari induk manusia yang sama, yaitu Adam dan Hawa (Qs. Al-Nisa [4]: 1). Dasar itu dipertegas oleh berita dari Zaid bin Arqam saat mendengar Nabi Muhammad SAW berdoa, “Aku bersaksi bahwa semua hamba Allah adalah bersaudara”. Disini Islam memiliki penekanan bahwa hampir semua aspek ibadah, ujungnya adalah kemanusiaan. Dari teologi, bergeser ke ritual dan pengabdian, ujungnya adalah kemanusiaan. Inilah mengapa sila Pancasila kedua dalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, sebab itulah ujung dari seluruh inti agama.

Dalam Islam, hanya agama yang berhasil yang sampai pada kemanusiaan. “Tahukah kamu, orang yang mendustakan agama” (Qs. Al-Mâ’ûn [107]: 1), kaya agama tetapi dusta, bahwa mereka beragama tapi tidak sampai kepada kemanusiaan. Sedangkan dalam doktrin Nasrani, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Gal 5: 14). Bahasa lain dari ajaran Islam, “siapa yang tak mengasihi manusia, maka Allah tak akan mengasihinya”.

Paradigma di atas selaras dengan esensi utama puasa, yakni merasakan penderitaan orang yang berada di luar tembok megahnya bangunan rumah kita. Di mana kelaparan melahirkan sikap empati kepada orang sesama. Sikap empati akan melahirkan pula sikap simpati, sebagai manifestasi dimensi sosial. Saling berbagi menjadi aktivitas sosial terbaik di penghujung berbuka puasa, yang pahalanya sama dengan yang berpuasa. Paradigma ini mengajarkan Muslim tidak saja mengakrabkan diri dengan Allah, melainkan juga turun ke bumi penderitaan orang lain, yang terkadang jarang kita masuki, disebabkan oleh egoisme dan kemapanan duniawi yang menyilaukan mata batin. Panas yang membakar saat berpuasa sejatinya menghanguskan amarah dan kebencian yang terus berkeliaran dalam diri.

Masyarakat Gorontalo, (seharusnya) memahami inti berpuasa itu. Di tubuh daerah yang masih berumur muda itu, telah terwariskan nilai-nilai universal, seperti “lamahu”, yang bermakna saling membantu dan bertoleransi; “huyula” (gotong royong), “ngala’a” (kekeluargaan dan kekerabatan). Yang nilai-nilai itu bukanlah pajangan dan jimat masyarakat Gorontalo saja, melainkan harus terejewantahkan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak saja pada bulan Ramadan, tapi juga di luar bulan-bulan lainnya.

Bertemunya kedua nilai (puasa dan filosofi Gorontalo), sejatinya melahirkan orang-orang yang cinta perdamaian, saling menebar cinta kasih (welas asih) dan manusia muttaqîn. Takwa dalam pengertian yang ideal adalah orang yang beragama dan ber-Tuhan tapi sampai pada “kebaikan tertinggi”. Kebaikan tertinggi memuat ajaran cinta dan peduli pada aspek sosial. Artinya, ketika sudah menerima perbedaan, maka menciptakan suasana perdamaian itu lebih dipentingkan daripada terus menerus mencari kesalahan orang lain. Biarkan yang sama tetap sama, dan biarkan yang berbeda itu beda. Jangan menyamakan yang berbeda dan membedakan yang sama.

Nilai-nilai kemanusiaan itu diterapkan pula kepada orang yang berbeda agama, suku, ras dan etnis. Disinilah hadis Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Muhammad ibn Ismȃil ibn Ibrȃhim al-Bukhȃri dalam kitabnya Shahîh al-Bukhȃri, perlu diungkapkan: “satu keluarga beda ibu” (ikhwatun li `illȃti ummahȃtuhun syattȃ wa dînuhum wȃhid). Maksudnya, “Islam, Yahudi dan Kristen sebagai saudara namun beda ibu.” Ketiga agama itu bermuara pada sikap kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan. Islam dan Kristen masih satu trah dengan Nabi Ibrahim. Kristen lahir dari Nabi Isa dan Islam lahir dari Nabi Muhammad SAW. Keduanya bertemu pada Nabi Ibrahim. Nabi Isa berasal dari keturunan Ishak (putra Nabi Ibrahim) yang kemudian menurunkan Bani Israil. Sementara Nabi Muhammad SAW keturunan Nabi Ismail, saudara se-ayah dengan Nabi Ishak, yang juga menurunkan bangsa Arab.

Spirit kemanusiaan itu harus menembus segala ruang dan tempat. Gentingnya nilai ini kerap ditelantarkan oleh Muslim. Padahal, kepedulian sosial—sebagai bagian dari memanusiakan manusia—merupakan doktrin inti monoteisme (tauhid). Doktrin yang membongkar oligarki Quraisy dengan piramida kekuasaannya yang sangat eksploitatif terhadap masyarakat. Namun Nabi Muhammad belum sepenuhnya mengeksekusi ajaran ini pada periode Makkah. Barulah di Madinah, saat kepemimpinan di tangan Nabi, kepedulian sosial menjadi inti pula dalam berdakwahnya. Mengapa? Beriman dan bertauhid kepada Allah tanpa memekarkan dan mengaplikasikan sikap kepedulian sosial dalam bingkai kemanusiaan, maka itu “kemanusiaan (yang) semu”. Kebaikan tertinggi harus selalu tertancap ke dasar bumi tanpa melihat kepada siapa objek yang menyapanya.

Dan ayat “agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa” (Qs. Al-Baqarah [2]: 183) tidak saja dimaknai sebagai sebuah ketakutan kepada-Nya, melainkan kesadaran mendalam dan keberpihakan pada kaum lemah, kepedulian sosial dan kesadaran mendalam untuk mewujudkan peradaban manusia dengan welas asih, mengasihi orang lain (lamahu) sebagaimana Anda mengisihi dirimu sendiri. Akhirnya, puasa sebagai tahapan menuju kepribadian hakiki, yang salih secara spiritual dan salih secara sosial. Itulah inti kita berpuasa di bulan Ramadan. Dan semoga Allah tidak bosan kepada kita dan membuang mukanya, yang disebabkan nilai-nilai luhur itu kerap kita singkirkan secara perlahan-lahan. Selamat berbuka puasa!

Baca berita kami lainnya di

Exit mobile version