Oleh : Suharto Olii
Judul di atas mungkin terkesan berlebihan, tapi bagi pendengar RRI pada era 1970-an hingga awal 2000-an, reportase olahraga atau laporan pandangan mata menjadi salah satu rohnya radio yang berdiri 11 September 1945 itu.
Pada era 1970-an, RRI menjadi salah satu sumber informasi yang langsung diterima oleh pubkik hingga pelosok desa. Dan informasi olahraga salah satu yang selalu ditunggu publik khususnya laporan pandangan mata untuk pertandingan cabang olahraga populer seperti sepakbola dan bulutangkis.
Khusus reportase bulutangkis saya punya pengalaman pribadi dan itulah perkenalan awal saya dengan RRI. Ketika itu pada tahun.1976 RRI melakukan siaran langsung laga final tunggal sesama pemain Indonesia Rudy Hartono melawan Liem Swie King. Sang reporternya kala itu kalau tidak salah namanya Edy Sihombing mampu menghipnotis para pendengar seakan-akan pendengar merasakan langsung duel penuh sejarah karena sang maestro Rudy Hartono ingin membuat sejarah 8 x juara All England.
Rudy Hartono memang berhasil menjadi juara All England 8 x, 7 diantaranya berturut-turut. Setahun.sebelumnya 1975 Rudy berupaya membuat sejarah.menjadi.juara All England 8 x.berturut-turut namun digagalkan pemain eksentrik asal Denmark, Svend Pri di final.
Dibalik.euforia sukses Rudy Hartono.menjadi.juara All England 8 x itu, Albert Hall London, tempat berlangsung turnamen bulutangkis dunia itu dikejutkan berita kurang mengenakkan bagi Rudy yang dihembuskan oleh para jurnalis Malaysia. Konon sukses Rudy tak lepas dari penampilan Liem Swie King yang tidak maksimal. Bahkan media Malaysia menuding King sengaja mengalah di final itu demi memuluskan langkah seniornya Rudy Hartono mencetak sejarah 8 x kali juara All England.
Edy Sihombing yang semula larut dalam euforia bersama sejumlah wartawan asal Indonesia lainnya tentu langsung menghubungi ofisial tim bulutangkis Indonesia untuk konfirmasi isu tak sedap yang dimunculkan para jurnalis Malaysia itu.
Salah satu ofisial tim bulutangkis Indonesia dengan nada sedikit diplomatis bahwa laga final tunggal putra antara Rudy Hartono melawan Liem Swie King berjalan normal. Keduanya bermain sungguh-sungguh. Namun para pendengar RRI tak peduli dengan isu miring tersebut, yang penting juaranya pemain Indonesia dan sejarah pun tercatat yang kini belum mampu dipecahkan oleh pebulutangkis dunia lainnya.
Itulah salah satu penggalan kisah dan kenangan indah bersama RRI.
Untuk cabang sepakbola yang merupakan olahraga kebanggaan masyarakat Indonesia, RRI sebagai radio plat merah (milik pemerintah) juga selalu hadir. Pertandingan- pertandingan baik sifatnya kompetisi mulai perserikatan hingga Liga Indonesia serta laga yang melibatkan tim nasional nyaris tak luput dari pantauan dan reportase langsung RRI.
Begitu halnya untuk kegiatan multi even olahraga baik yang nasional seperti PON maupun internasional semisal SEA Games, Asian Games dan Olimpiade, RRI juga selalu hadir hanya untuk memuaskan publik yang ingin mengetahui perkembambangan setiap kegiatan atau even yang melibatkan para atlet kita.
RRI juga diuntungkan dengan adanya para reporter yang cukup mumpuni. Pada era 1980-an hingga awal 2000-an siapa yang tidak kenal nama-nama seperti Ripto Sjachvidi, Adjat Sudrajat, Basri Lubis, Firmansyah Gindo, Yulianto (kelimanya sudah almarhum),,Yanto Prawiro Negoro, Alief Syachviar, Reno Askareno, Widoyo, Agus Rusmin dan satu-satunya wanita, Lala Hozillah. Nama-nama inilah sudah akrab di telinga para pendengar RRI karena tingkat kemampuan mereka dalam memberikan reportase. Merekalah para reporter yang menjaga identitas roh siaran olahraga RRI. Ironisnya kondisi ini justru tidak lagi mendapat perhatian petinggi RRI saat ini. Padahal siaran olahraga sudah menjadi ciri khas kebanggaan RRI sejak awal berdirinya.
Seiring perkembangan zaman khususnya mulai merebaknya media digital, RRI seakan mulai keluar dari rohnya. Laporan pandangan mata atau reportase langsung mulai berkurang. Kalau toh ada, kualitasnya menurun. Penururan kualitas reportase itu bisa saja dipengaruhi kualitas reporternya. Nah saya mengamati khusus reporter untuk reportase olahraga RRI terlambat dalam hal kaderisasi (regenerasi). Menjadi tantangan bagi RRI di tengah membanjirnya media digital untuk bisa mempertahankan “Roh-nya” dengan tetap menyajikan laporan pandangan mata pertandingan olahraga apalagi yang melibatkan atlet-atlet Indonesia. Bukankah olahraga salah satu instrumen untuk membangkitkan rasa nasionalisme kebangsaan.
Salam Olahraga (Suharto Olii wartawan senior olahraga dan pemerhati RRI.)