Tersangka Korupsi, Lebih Tepat Penerapan Konsepsi “Actual Loss”

READ.ID – Terkait penetapan tersangka dalam kasus korupsi, menurut Salahudin Pakaya lebih tepat penerapan konsepsi Actual Loss, karena dapat memberikan kepastian hukum.

“Jadi penerapan unsur merugikan keuangan dengan konsepsi actual loss lebih memberi kepastian hukum yang adil dan sesuai upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional,” kata Salahudin Pakaya.


banner 468x60

Ia menjelaskan seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan, UU Perbendaharaan Negara, UU BPK, dan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006.

Karena itu, konsepsi kerugian negara yang dianut dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual.

“ Saya tidak membantah kewenangan penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka itu adalah kewenangan yang diberikan penuh oleh UU kepada institusi penegak hukum,” ujar Salahudin.

Akan tetapi lanjut Salahudin, dalam hal perkara korupsi ada hal hal khusus yg dilindungi oleh UU, dulu untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam pasal 2 dan pasal 3 kata “Dapat” itu sudah merupakan potensi kerugian negara dan hal tersebut di benarkan.

“Adanya putusan MK menghapus kata dapat sehingga menurut MK bahwa harus ada kerugian negara secara nyata dulu baru bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka, begitulah aturan yg harus dipatuhi oleh semua penegak hukum,” urainya.

Ia menjelaskan menurut Mahkamah pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

“Selain itu, kata “dapat” ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa),” ungkapnya.

Apalagi, Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK telah mendefiniskan, “Kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”

Konsepsi  ini sebenarnya sama dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang menyebut secara nyata telah ada kerugian negara yang dapat dihitung oleh instansi yang berwenang, frasa ‘dapat’ dalam pasal 2 (1) dan pasal 3 UU tipikor dinyatakan inkonstitusional.

Selain pasal tersebut juga dapat menimbulkan ketakutan dan khawatir terhadap pejabat pemerintah pengambil keputusan. Bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60

Leave a Reply