banner 468x60

Perlunya Kritisisme Membahas Omnibus Law

banner 468x60

READ.ID – Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Muhammad Amir Arham mengatakan, dalam ruang akademisi perlunya kritisisme atau nalar kritis untuk membahas Omnibus Law.

“Pertama ini ruang akademik, harus mengedepandankan kritisisme, jangan anggap penolakan kita dianggap ujaran kebencian,” ungkapnya dalam dalam Diskusi yang digelar oleh Lakpesdam PCNU Kota Gorontalo bertemakan Mengurai Lebih Tajam Omnibus Law Cipta Kerja Dan Penerapannya, di Kampus Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Kamis (12/3).

Amir mengatakan, ada tiga aspek yang melatarbelakangi Omnibus Law muncul. Pertama, terkait dengan masalah pertumbuhan ekonomi. Sejak 2015, ekonomi Indonesia terus mengalami penekanan/konstraksi pertumbuhannya. Diperkirakan di tahun 2020, ekonomi kita akan tumbuh hanya 4,8 persen sebagai dampak dari ekonomi global dan juga krisis penyebaran virus korona. Nantinya dampaknya pada penyerapan tenaga kerja.

Lanjut Amir, bahwa simulasi secara ekonometris, pertumbuhan ekonomi di Indonesia satu persen saja yang bisa menyerap 400 ribu tenaga kerja, begitupun sebaiknya. Makanya paling tidak pemerintah perlu menaikkannya ke 6 atau 7 persen, agar menurunkan angka pengangguran.

“Saya ingin kritisi sedikit, dari beberapa pandangan terkait Omnibus Law. Ekonomi kita mengalami penekanan pertumbuhan rata-rata 5,2 persen, 5,1 persen. Sebetulnya ekonomi kita cukup baik, karena seiring ekonomi global yang tidak menentu, perang dagang antara Amerika dan Cina, itu tentunya punya efek yang luar biasa. Sebenarnya kita bisa memanfaatkannya,” pungkasnya.

Dosen Ekonomi UNG itu mengatakan, catatan untuk undang-undang Omnibus Law ini pembahasannya tidak transparan, tidak diketahui siapa yang buat naskah akademiknya; kedua, Undang-undang yang fullpower pemerintah; ketiga, di DPR koalisi pemerintah, maka civil society harus kuat mengkritisi. (Fadil/RL/Read)

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 468x60