banner 468x60

Jalan Terjal Puasa Ramadan

Oleh: Muhammad Makmun Rasyid

Perempuan menjadi topik yang tak habis-habisnya dibahas. Semakin dibahas, semakin mengundang paradigma baru. Perempuan yang dikenal sebagai mahluk berovum dan laki-laki sebagai mahluk bersperma, bukanlah dua unit yang berdiri sendiri. Satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Yang dinyatakan al-Qur’an sebagai “pakaian untuk kamu dan kamu pun (suami) adalah pakaian untuk mereka” (Qs. al-Baqarah [2]: 187). Dibalik ragam kesuksesan perempuan, ada pelajaran menarik untuk mengambil hikmahnya di bulan puasa Ramadan ini.

Perempuan sama halnya dengan laki-laki, yang berpotensi melakukan hal-hal positif dan negatif. Mahmud Syaltut mengatakan bahwa “tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan—sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki—potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggungjawab dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.” Sesuai tabiat itu, maka tidak ada di antara keduanya yang bebas berbuat dosa, kecuali segelintir mahluk-Nya saja.

Antara laki-laki dan perempuan, dalam struktur biologisnya terdapat sembilang lubang yang berpotensi berbuat dosa. Dimulai dari dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, lubang “qubul” dan lubang “dubur”. Kesembilan lubang itu, semakin besar lubangnya, semakin besar potensi lahirnya sebuah dosa. Semuanya diciptakan Allah untuk dipergunakan untuk hal-hal positif dan hal-hal yang dihalalkan. Hanya dengan itulah bukti seseorang bersyukur atas pemberian-Nya.

Dalam perjalanannya, banyak kisah yang bisa diambil hikmahnya. Di antaranya, kisah populer yang ada dalam kitab-kitab klasik, di mana zaman dahulu ada dua orang perempuan yang berpuasa tapi ia memuntahkan nanah lagi bercampur darah.

Kisah keduanya pun diberitakan kepada Nabi Muhammad. “Ya Rasulullah, di sini ada dua perempuan yang berpuasa, tapi keduanya hampir mati karena kehausan”.

Nabi tidak menggubrisnya sama sekali. Maka diberitahukan kembali kepada Nabi, “Ya Rasulullah, mereka hampir mati”. Barulah Nabi membalasnya, “panggillah kedua perempuan itu”. Tibalah kedua perempuan tersebut dihadapan Nabi Muhammad.

Tiba-tiba Nabi meminta sebuah ember dan bersabda, “muntahlah kalian”. Satu persatu bergantian untuk muntah. Saat mereka muntah, yang keluar dari mulut mereka adalah air nanah bercambur darah. Diperkirkan hampir memenuhi setengah ember. Saat Nabi melihat isi muntahnya, Nabi pun bersabda, “kedua wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah, namun mereka berbuka dengan yang diharamkan Allah. Keduanya duduk-duduk untuk makan daging manusia”.

Hadis di atas menceritakan dua perempuan yang berpuasa tapi berbuka sambil menggunjing orang lain. Dalam istilah hadisnya disebut “ghibah”. Sebuah perbuatan yang dilarang oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Hujurât [49]: 12).

Sebelum ayat di atas, Allah pun sudah menegur agar laki-laki dan perempuan tidak boleh memperolok-olokkan sesuatu, sebab bisa jadi orang yang diperolok lebih baik. Bahkan memanggil gelar seseorang dengan gelar buruk pun tidak dibolehkan. Diakhir ayat itu, Allah sangat tegas, siapa yang berbuat perbuatan buruk itu maka diperintahkan untuk menyegerakan bertaubat. Dan pada Qs. Al-Hujurât [49]: 12 ini masih dalam konteks yang sama: perbuatan yang dilarang Allah.

Perdebatan seputar turunnya sangat panjang. Ringkasnya, setiap manusia diciptakan masing-masing dalam status mulia dan terhormat. Maka siapa saja tidak diperkenankan untuk mengisi kalbunya dengan hal-hal buruk. Puasa Ramadan menjadi bulan pendidikan untuk membersihkan masing-masing kalbu kita dari prasangka buruk dan menggunjing orang lain.

Allah diawal ayat itu memanggil manusia dengan panggilan “hai orang-orang yang beriman”. Sebuah panggilang kesayangan kepada manusia. Begitu sayangnya Allah kepada manusia, walaupun prasangka buruk kerap kita lakukan berkali-kali. Seruan Allah pun di bulan ini menuntun agar laki-laki dan perempuan tidak menyebabkan puasanya sia-sia belaka. Jangan pula, kita hanya menikmati lapar dan haus tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasa yang kita lakukan. Sampai-sampai Nabi pernah bersabda juga, “siapa yang menutup aib saudaranya, maka ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang di kubur hidup-hidup”.

Pelarangan ini tidak saja berhubungan dengan sesama orang Islam, tapi begitu pula dengan yang berbeda agama. Sesama manusia adalah saling bersaudara. Tidak diperkenankan untuk saling menganiayanya, tidak saling membenci dan tidak saling membelakangi. Maka pendidikan kedua bulan Ramadan ini adalah melatih seseorang untuk menyelematkan lidah dari perbuatan buruk. Lebih-lebih mengganggu keberadaan orang lain dan menghalang-halangi untuk berbuat baik.

Al-Baihaqi dalam “Syu’bu al-Imân” memberitakan sebuah riwayat dari Said bin Musayyab. “Letakkanlah urusan saudaramu pada tempat yang terbaik selagi tidak datang kepadamu berita yang kuat menurutmu. Jangan sekali-kali pula kamu menyangka kata-kata yang keluar dari seorang Muslim sebagai sesuatu yang buruk, padahal kamu masih mendapatkan tempat yang baik bagi kata-kata itu.” Dan dipertegas lagi oleh Imam Nawai, “Ketahuilah, buruk sangka (itu) haram sebagaimana keharaman perkataanmu kepada orang lain terkait kekurangan seseorang, maka kau juga haram mengatakan kekurangan orang lain kepada dirimu sendiri dan buruk sangka terhadapnya.”

Cukuplah ayat dan kedua hadis di atas membuat kita menyetop prasangka-prasangka buruk dan menggunjing orang lain. Tidak saja saat berpuasa, tapi selepas bulan Ramadan tidak dikembangbiakkan menjadi sebuah budaya. Seandainya kita tidak mampu menghindari berburuk sangka, maka diam menjadi alternatif terbaik. Sebab, mulut yang berlubang besar berpotensi berbicara hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah.

Kisah dua perempuan pun sebagai bukti kongkrit di zaman Nabi Muhammad. Maka budaya “karlota” yang terkadang terselip di dalamnya membicarakan orang lain agar sangat berhati-hati. Memang, hidup di era di mana ragam topik mudah diperbincangkan dan diakses siapa tanpa memerlukan budaya konfirmasi atau “tabayyun”. Banyak perkara kecil-kecil yang dilarang membuat pahala puasa kita habis tersedot orang lain.

Tradisi zikir dan membaca al-Qur’an di bulan puasa Ramadan menuntun untuk selalu membahasi lidah dan perangkat lainnya untuk hal-hal positif. Jalan terjal menuju kebaikan memang dahsyat. Banyak manusia yang gagal menuju gerbang dan akhir permainan. Di tengah jalan, tidak saja energi yang habis melainkan sia-sia belaka berpuasa. Jalar terjal itu adalah merubah pola pikir dan menggantikan prasangka buruk kepada orang lain dengan prasangka baik.

Nabi mewariskan kita tauladan membudayakan agar lisan selalu berkata baik bukan mengucapkan kata-kata buruk, bukan pula dipergunakan untuk mengutuk orang lain, lebih-lebih untuk mencaci maki. Memang berat melewati jalan berduri di bulan puasa. Maka bonus utamanya adalah “termasuk orang-orang bertakwa”. Seorang manusia yang dinobatkan telah lolos seleksi dan pendidikan secara baik dan sempurna. Jangan sampai, puasa dan ibadah harian hanyalah rutinitas tanpa makna.

Puasa ini adalah “sepotong surga” yang harus dinikmati dengan penuh kesadaran. Ibarat sajian pizza di saat berbuka puasa, maka menyantapnya penuh nikmat. Bahkan tidak tersisa sedikit pun. Benar-benar bersih. Begitulah puasa, harus betul-betul kita nikmati dan hayati keberadaannya, agar ia tidak datang ke dalam kehidupan kita tapi tidak meninggalkan jejak.

Layaknya kisah heroik seorang laki-laki yang mengisi kekosongan hati perempuan atau sebaliknya. Sama-sama memanfaatkan untuk perkara-perkara baik. Ia tidak akan meninggalkan jejak buruk atas kehadirannya. Seandainya berpisah pun, berpisah dengan tangisan dan tetesan air mata sebab keteguhannya dalam beragama. Menanti kehadirannya kembali dan merengkuhnya penuh kebahagiaan. Apalah artinya, kehadiran insan dalam jiwa tapi tak membangkitkan semangat beribadah dan beraktivitas positif. Fungsi berpuasa melebihi itu semua.

Kehadirannya yang semula dirindukan, namun saat datang justru disia-siakan. Seandainya puasa bisa berbicara, ia akan berkata, “semula aku berharap engkau merengkuhku penuh rayuan dan belaian hangat, tapi engkau menganggapku sebelah mata”. Tapi puasa bukanlah perempuan, yang pada mulanya takut mendekap tubuh seorang laki-laki, walau akhirnya ia menangis saat engkau pergi menjauh. Puasa datang kepada siapa saja, tak mengenal jenis manusia. Siapapun yang mau melakukan, dampak positif menyertainya.

Dari rahim Ramadan inilah banyak pula laki-laki dan perempuan yang semula keras hatinya, kemudian terberikan rasa simpati dan kasih sayang. Mereka berakhir penuh kegilaan dan kecemburuan. Sampai-sampai banyak manusia yang mengingat, ia kembali menjadi manusia berbudi pekerti di rahim Ramadan ini. Ibarat seseorang yang teringat akan kisah ditiupkannya ruh ke dalam jasad saat berada di rahim seorang perempuan.

Marilah perlakukan puasa ini dengan penuh kelembutan. Ia sepotong taman surga yang diberikan untuk dinikmati. Sajian terindah bagi mereka yang beriman. Sebagai sebuah “sepotong taman surga”, maka kehadirannya menyilaukan, sampai-sampai tak ada yang patut dicintai selain puasa Ramadan itu sendiri. Kejemuan akibat beban hidup pun sirna saat memeluk ramadan penuh kegirangan dan kebahagiaan.

Akahirnya, marilah kita berpuasa ramadan tanpa menanam bibit-bibit negatif dalam diri. Sebab ia akan berkembangbiak dan melahirkan perkara negatif lainnya. Sucikan diri agar kembali menjadi abdi Tuhan penuh tanggungjawab. Selamat berbuka puasa!

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60

Leave a Reply