READ.ID,- Di tengah riuhnya malam puncak Musyawarah Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Munas APEKSI) 2025 yang digelar di Surabaya, delegasi Kota Gorontalo tampil dengan pendekatan yang tidak megah, tetapi sarat makna. Alih-alih mengusung atraksi heboh seperti beberapa kota lain, Gorontalo memilih menunjukkan kekhasan budaya yang otentik—dan justru itulah yang memikat perhatian.
Tampil di urutan terakhir dalam parade budaya, delegasi Gorontalo mengenakan busana Karawo, sulaman tangan khas daerah yang mencerminkan kerajinan dan kesabaran. Namun yang paling menarik perhatian adalah kehadiran langsung Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, yang memilih berjalan bersama delegasinya, alih-alih duduk di kursi kehormatan bersama para kepala daerah lain. Sebuah gestur yang menunjukkan keterlibatan personal sekaligus kesadaran akan pentingnya mendampingi kebudayaan daerahnya secara langsung.
Dari momen sederhana itulah, lahir sebuah gagasan: menghadirkan musik tradisional koko’o alat musik bambu khas Gorontalo pada ajang nasional berikutnya. Wali Kota Adhan menyebut, inisiatif ini adalah bagian dari strategi kebudayaan yang tidak hanya bersifat representatif, tetapi juga partisipatif.
“Musik koko’o bukan sekadar hiburan. Ia adalah suara sejarah, alat komunikasi, dan wujud ekspresi kolektif masyarakat Gorontalo,” ujarnya dalam pernyataan di sela kegiatan Munas APEKSI.
Sebagai bentuk konkret dari rencana ini, Pemerintah Kota Gorontalo akan mengadakan lomba musik koko’o, dengan harapan dapat menjaring talenta lokal yang akan tampil di panggung nasional. Tidak berhenti di musik, konsep ini juga dirancang menyentuh aspek busana: para peserta akan mengenakan kemeja koko bersulam Karawo dan kupiah karanji, penutup kepala tradisional yang kini jarang dikenakan dalam forum-forum resmi.
Langkah ini mencerminkan sebuah upaya pelestarian yang menyeluruh. Di tengah gelombang modernisasi dan komersialisasi budaya, Gorontalo tampaknya memilih jalur kultural yang lebih substansial mengangkat simbol-simbol lokal sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan.
Upaya ini patut dicatat. Bukan hanya karena keunikan koko’o sebagai instrumen musik, tetapi juga karena keberanian Kota Gorontalo untuk tidak hanya hadir secara fisik di forum nasional, melainkan juga hadir secara simbolik dan kultural. Di era ketika identitas kerap dirayakan secara instan dan superficial, inisiatif ini menawarkan pendekatan yang lebih dalam: merawat akar sambil menembus batas-batas panggung nasional.*****