banner 468x60

Menimbang 100 Hari Rektor Universitas Negeri Gorontalo

Rektor UNG

Muhammad Makmun Rasyid
(Penulis Buku)

Universitas Negeri Gorontalo (selanjutnya disebut UNG) merupakan kampus representatif di Gorontalo. Rektor baru pun telah tiba di masa kerja 100 harinya, terhitung sejak 26 September 2019 sampai 3 Januari 2020. Setidaknya, tercatat sebanyak 59 kegiatan (dalam ragam rupa) telah dilakukan oleh Rektor UNG, Eduart Wolok. Empat program 2019-2023 berupa “pendidikan yang unggul, penelitian yang menembus skala internasional, pengabdian yang berbasis sosial entrepreneur dan rekonstruksi tubuh UNG agar lebih berdaya saing dan pengelolaan atau penataan Sumber Daya Manusia (baik ke dalam maupun ke luar)” telah dibuka krannya, pintu dan jendelanya. Keempatnya pun telah diinisiasinya dalam program kerja 100 hari, walau belum optimal secara prestasi, tapi ini harapan besar yang perlu didorong oleh segenap masyarakat dan pihak terkait.

Pendidikan unggul ini mencakup segala spektrum dan menjangkau skala luas. Tidak saja memuat paradigma internal (UNG) tapi eksternal. Gagasan yang telah dibicarakan Eduart Wolok dalam forum “Diklat Guru Dan Kepsek, PPPPTK Bahasa Kemendikbud (8 Oktober 2019), saat membuka Pameran Riset Inovasi (10 Oktober 2019) dan saat menjadi pemateri dalam Workshop Pengembangan Kapasitas Guru dengan Yayasan Sukma (3 Desember 2019)” merupakan momentum sang rektor menebarkan virus tentang “pendidikan (yang) unggul”, sebagai cita dan harapan besarnya.

Dalam konsep idealnya, universitas dan institusi pendidikan tidak hanya tempat produksi kemanusiaan dan peningkatan dalam bentuk numerik, tapi membebaskan manusia dari jeratan-jeratan klasik berupa pengangkangan terhadap “ilmu pengetahuan” dan “tukang intelektual”. Dan salah satu virus yang wajib disertai dalam membumisasikan “pendidikan unggul” adalah semaksimal mungkin membentuk “character development” sebagai syarat terciptanya “true knowledge” di dunia pendidikan. Sebagaimana paradigma yang pernah dibangun oleh Plato, yang kemudian dikenal istilah “academia”.

Rektor UNG

Paradigma Plato itu membawa setiap orang, khususnya pendidik adalah kembali kepada aksiologi dasarnya, yakni memanusiakan manusia. Disini keterhubungan jaringan vertikal dan horizontol sangatlah erat. Tanpa keterhubungan itu, sulit rasanya kampus melahirkan mahasiswa-mahasiwi dan pendidik yang memiliki “character development”.

Lebih jauh lagi, dalam konteks kampus sebagai tempat memproduksi ilmu pengetahuan, dalam hal ini literasi menulis-membaca, numerasi, sains, finansial, digitalisasi dan budaya (juga kewargaan) belum disorot dan di nomor satukan. Padahal, misalnya, sembilan perguruan tinggi yang masuk dalam 1.000 universitas terbaik dunia pun mengalami kemerosotan dalam hal riset dan penelitian. Jika kita membaca “Who Rules? The Top 500 Universities in the World 2019”, setidaknya kita akan mengambil kesimpulan, empat yang menjadi kelemahan perguruan tinggi di Indonesia, meliputi rendahnya anggaran riset, minim riset terapan dan inovatif, kolaborasi antar sektor sangat rendah dan kemitraan antar kampus. Jika UNG ingin unggul dan berdaya saing, minimal dalam skala nasional bahkan internasional, maka empat aspek tersebut harus bisa diatasi. Namun ini bukan pekerjaan yang mudah, seperti saat saya menuliskannya, tapi inilah tantangan yang pasti dihadapi oleh siapapun pemegang kekuasaan tertinggi di dunia pendidikan, khususnya kampus/universitas.

Riset sebagai salah satu faktor pengukuran sebuah kampus sebagaimana yang kerap dilakukan dan dirilis oleh “QS Ranking Top Universities”. Dan di bawah kepemimpinan Eduart Wolok, hal-hal penting ini harus diberesi dengan serius. Tepat di 100 hari kerja Eduart Wolok, saya kembali mengecek situs “www.neliti.com” dan saya masuk ke “repositori”, kemudian mengecek jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh UNG. Dari delapan jurnal yang dipublikasikan, semuanya masih tertulis “tidak terakreditasi”. Mulai jurnal “Jambura Geoscience Review; Jambura Journal of Educational Chemistry; Jambura Journal of Electrical and Electronics Engineering; Jambura Journal of Mathematics; Jambura Journal of Sports Coaching; Jambura Law Review; Jurnal Legalitas; dan Public Health Journal”. Walaupun di kampus-kampus lainnya pula, sesuai informasi dari “www.neliti.com”, masih banyak yang belum terakreditasi. Minimal di bawah kepemimpinan Eduart Wolok, jurnal itu bisa diperjuangkan dan di-akreditasikan di Ristekdikti.

Riset (penelitian) sebagai bagian dari Tridharma Perguruan Tinggi, selain pengajaran dan pengabdian, tapi masih banyak dosen yang mengesampingkan penelitian dan pengabdian, sedangkan mengajar di kampus hanyalah rutinitas sehari-hari. Padahal tanpa adanya penelitian yang up to date maka sangat mustahil pendengar (mahasiswa/mahasiswi) akan terbangun common sense-nya. Kita bisa mencontoh seperti penelitian yang “International Journal of Electrical Engineering Education” oleh Manchester University; The Netherland University dengan “Sociologia”; dan Ilinois University dengan jurnal penelitiannya “Ilinois Journal of Mathematics”.

Mungkin perbandingannya terlalu jauh, tapi faktor yang dibebankan kepada kampus oleh QS World Ranking, Webometric dan TeSCA adalah bidang penelitian sebagai tolak ukur dalam pemeringkatan. Setelah penelitian berjalan dengan konsisten, maka perguruan tinggi dituntut lagi dalam pengelolaan data riset. Semangat dan atmosfir penelitian di jiwa para dosen, pengajar dan pendidik haruslah terbangun. Disinilah kerjasama antar-sektor di kampus sangat dibutuhkan dan menjadi syarat keberhasilan dalam mewujudkan gagasan “pendidikan unggul” dan “UNG Unggul, Berdaya Saing”.

Pasca 100 Hari masa kerja Rektor UNG, Eduart Wolok, harapan saya sebagai pemuda Gorontalo mendobrak para dosen-dosen untuk terlibat dalam mengatasi permasalahan di perguruan tinggi. Jangan ada lagi, dosen, pengajar dan pendidik hanya fokus mengajar dan kembali ke rumah tanpa beban akademik sama sekali dan datang kembali ke kampus tanpa ilmu pengetahuan yang baru. Dan ini bisa dimulai dari sang rektor, dari hal terkecil, yakni menulis opini atau artikel di “Kolom Rektor”, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rektor UIN Malang, Imam Suprayogo, yang menulis setiap hari, setiap selesai shalat Shubuh selama bertahun-tahun tanpa jeda. Sampai ia menjadi pemegang “Rekor MURI”. Namun, sistem menulisnya setiap hari bisa dirubah, misalnya seminggu sekali.

Jika hal terkecil itu bisa dilakukan, maka UNG bisa menjadi inspirasi kampus-kampus di Gorontalo bahkan di tingkat nasional. Disini tantangannya sederhana, mengajak semua kolega untuk menyatukan tekat membumisasikan “pendidikan (yang) unggul”, khususnya unggul dalam riset dan penelitian. Tanpa senyawa yang sama, maka “pendidikan unggul” hanya akan menjadi slogan normatif semata. Wallahu a’lam bi al-Shawab***(Gus MR/Read)

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60