banner 468x60

Japesda: Konsesi Perusahaan Ekstraktif Sumbang Deforestasi di Gorontalo

Banjir 1

READ.ID – Direktur Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA), Nurain Lapolo, mengatakan bahwa kehadiran konsesi perusahaan ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan, ikut memberikan sumbangsih besar terhadap deforestasi atau kerusakan hutan di Gorontalo.

Ia mengatakan, data dari badan pusat statistik tahun 2016 terdapat 24 izin pertambangan bahan mineral, yang terdiri dari 21 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 3 izin Kontrak Karya (KK).

Menurut Nurain, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 325/Menhut-II/2010, luas hutan di Provinsi Gorontalo adalah 824.668 hektare, dan tutupan lahan dengan tingkat deforestasi 17 persen. Sementara data dari Forest Watch Indonesia, luas hutan di Gorontalo pada tahun 2016 adalah 714.031 hektare. Dengan demikian selang 6 tahun terjadi pengurangan luasan sebesar 110.367 hektare atau 13 persen akibat deforestasi.

“Sedangkan data dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017-2018, pada kategori deforestasi Hutan Lindung (HL): luas hutan lindung yang hilang seluas 1009,1 hektar dan Gorontalo berada pada peringkat ke-13 di Indonesia (Deforestasi Indonesia Tahun 2017-2018, KLHK 2019),” kata Nurain, berdasarkan rilis yang diterima, Rabu (8/7).

Selain itu, dari 490.996.29 hektar lahan di Wilayah Sungai Limboto-Bolango-Bone (beberapa sungai besar yang sering meluap sehingga mengakibatkan banjir), 50.513.29 atau 10 persen di antaranya dalam kondisi baik. Artinya, ada sekitar 90 persen lahan (dalam dan luar kawasan hutan) di wilayah itu yang rusak atau dalam kondisi kritis.

Selain kerusakan di area hulu, sungai-sungai yang di Provinsi Gorontalo juga dalam kondisi tidak baik. Data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Bone Bolango, dari 520 daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Provinsi Gorontalo, hanya 27 DAS yang masih masih dipertahankan (kondisi baik). Sementara, 493 atau 94 persen DAS lainnya, sedang dipulihkan; dengan kata lain, kondisinya kritis. (BPDASHL, 2019).

Memang, kata Nurain, banjir yang terjadi di Gorontalo pada tanggal 11 Juni dan 3 Juli 2020 disebabkan intesitas hujan yang cukup tinggi hingga menyebabkan meluapnya sungai Bone, serta rusaknya wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun, pihaknya mencatat persoalan utama banjir tahunan di Gorontalo adalah laju kerusakan hutan atau deforestasi.

Japesda sendiri mencatat, jumlah korban banjir di Gorontalo yang terjadi pada Kamis 11 Juni 2020 total keseluruhan mencapai 23.950 jiwa. Di mana Bone Bolango 8.867 jiwa, sedangkan Kota Gorontalo 15.083 jiwa.

Sedangkan banjir susulan terjadi pada tanggal 3 Juli 2020 di wilayah yang sama, berdampak pula di sejumlah tempat di Kabupaten Boalemo. Akhir tahun 2018, banjir bandang pernah menerjang Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara. Saat itu, banjir diakibatkan oleh meluapnya sungai Alo-Pohu. Banjir, seperti menjadi ritual tahunan bagi Provinsi Gorontalo. (RL/Read)

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60